Minggu, 26 Oktober 2014

Ketulusan Hati 3





Bimo mengendarai mobilnya hari ini menuju Jakarta. 

Baru hari ini dia menyelesaikan pekerjaannya dan saat minta ijin dia hanya diberi ijin 2 hari. Maka tak membuang-buang waktu dia langsung melaju menuju Jakarta.

Masih teringat percakapannya dengan Juni 2 hari lalu saat menyuruhnya datang ke Jakarta menjemputnya. Bimo masih merasa kuatir akan keadaan Juni karena mendadak sekali Juni ingin dijemput. Dikepalanya saat ini terbersit pikiran aneh tentang keinginan Juni itu. Namun tetap dikuatkannya hatinya untuk tetap berpikir positif. 

Selain itu dia harus berkonsentrasi penuh untuk perjalanannya kali ini. Tadi pagi dia sempat menelpon Juni mengabarkan kalau hari ini dia berangkat ke Jakarta. Tepat pukul 10 pagi dia mulai melaju melewati jalanan menuju Jakarta, berharap dan berdoa bisa tiba disana tanpa rintangan apapun dan tidak kemalaman. 

6 bulan tak bertemu Juni, dirasakannya rindunya yang teramat menyiksa hari-harinya. Namun kerinduan itu bisa ditahannya dengan dia bekerja dan mendengar suara Juni ditelpon yang tak pernah absen dia lakukan. Walau diakui setelah menutup telpon kerinduan itu makin meronta tapi kembali dia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan-pekerjaannya. 

Dia hanya berpikir namun tak pernah bertanya apa di Jakarta Juni sudah mempunyai kekasih atau belum. Dia bukannya tidak ingin bertanya, namun dia terlalu takut mendengar kalau disana gadis pujaannya itu ternyata memiliki seorang kekasih. Dia sudah cukup kecewa mendengar penolakan Juni saat dia menyatakan cintanya dulu. Tapi dia mungkin akan lebih dalam kecewa saat mendengar gadis itu dimiliki lelaki lain. Ada rasa cemburu didadanya dengan hanya memikirkan kemungkinan itu. Tapi toh suatu saat, entah kapan hal itu akan terjadi juga. Dan harusnya dia belajar menerima itu. Tapi entah mengapa dia malah membiarkan rasa itu terus tumbuh dan makin subur dihatinya. Rasa cinta, rindu, harap yang terus masih tertanam di pikiran dan perasaannya.

***

Juni cemas menantikan kehadiran sosok lelaki itu. Degup jantungnya bertalu-talu tak karuan. Keringat dingin terasa disekujur tubuhnya.

Entah mengapa tiba-tiba ada penyesalan timbul dihatinya karena menyuruh Bimo datang menjemputnya.

Dia tiba-tiba merasa takut.

Kriing..Kriing

Diambilnya ponselnya yang ditaruhnya diatas meja. Dari Maya.

"Halo..Napa May?" Sapanya lemah.

"Jun, napa? Apa ada yang sakit?" Tanya Maya cemas.

"Ga May, aku baik aja. Aku cuma ngerasa takut."

"Napa Jun, eh mas Bimo berangkat jam berapa?"

"Tadi jam 10 kata dia seh, mungkin saat ini lagi dalam perjalanan. Aku jadi takut May bertemu mas Bimo." Juni mulai terisak kecil.

"Napa Jun? Udah tenanglah, mas Bimo bukan laki-laki seperti itu."

"Tapi..." Juni mendesah panjang, "Dia kan ga tau keadaan aku yang sebenarnya saat ini May, aku takut dia..." Ucap Juni memberi jeda pada kata terakhirnya yang tak sanggup dia katakan.

"Takut dia kenapa Jun? Kecewa?"

"I..i..yaa..." Ucap Juni lemah terbata. 

"Udah Jun, jangan kuatir dulu ya, kita lihat nanti deh saat dia datang. Kalau dia datang kabari aku ya Jun." Ujar Maya menguatkan perasaan Juni.

"Iya. Makasih May. Aku ga tau kalo ga ada kamu." Ucap Juni sebelum mengakhiri percakapan telponnya dengan Maya.

Akhirnya dalam keheningan, Juni berpikir apapun yang akan terjadi dia harus menerimanya. Bimo mungkin bukan laki-laki yang akan bersikap kekanakan menghadapi hal seperti ini. Tapi apa yang harus dia harapkan. Toh Bimo bukan siapa-siapa dia. Waktu dia masih suci pun dia bukan kekasihnya, terlebih lagi saat ini. Mungkin Bimo akan geram mendengar hal ini menimpa Juni, tapi apa yang harus dia lakukan? Juni toh tak tau harus menuntut pada siapa? Dia juga tak tau siapa yang harus bertanggung jawab pada apa yang sudah dialaminya.

Airmata meleleh kembali dipipinya yang halus. Entah berapa lama lagi dia harus terus menangis seperti ini.

***

Bimo tiba di Jakarta tepat saat lampu-lampu kota Jakarta mulai dinyalakan, langit yang menghitam. Bulan tampak menyembul malu-malu, walau tak banyak bintang tapi cuaca sangat cerah dan hawa panas mulai terasa diwajahnya saat dia memarkir mobilnya dan mulai berjalan kearah bangunan yang merupakan kost Juni.

Dadanya berdegup kencang. Entah mengapa dia begitu gugup saat ini. Dia merasa istimewa sekaligus berpendar harap karena tak mengira Juni ingin dijemput olehnya, walau dia belum tau alasan apa yang menyebabkan Juni meminta dia menjemputnya. Namun hal itu akan diketahuinya sebentar lagi.

***

Tok...tok...tok

Pintu terdengar diketuk. Juni merasa berdebar. Dia tau bahwa yang mengetuk itu Bimo.

"Aku udah didepan kostmu Jun, kamarmu nomor 6 kan?" Kata Bimo ditelpon tadi kepada Juni.

Dan saat ini Juni tau itu pasti Bimo. Dia menguatkan hatinya agar tak langsung menangis saat melihat Bimo.

Tok...tok...tok
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya.


"Iya sebentar," ujar Juni sedikit bergegas kearah pintu.

Dibukanya pintu, dan dilihatnya laki-laki itu berdiri menjulang dihadapannya. Dia masih tampan, matanya yang teduh dan senyumnya yang indah telah ada dibibirnya yang juga indah saat melihat Juni membuka pintu.

"Mas Bimo," ujar Juni seakan kaget, walau sebenarnya itu tak perlu. "Masuk mas." 

Dadanya masih berdebar, digigitnya bibir bawahnya menahan aliran air dimatanya yang hampir meleleh. Dia tak mau menyambut Bimo dengan airmata saat ini, karena dia tau Bimo lelah dan dia tak sanggup membebani laki-laki itu dengan kesedihannya yang menyakitkan.

"Makasih. Permisi, aku masuk yaa..." Ucap Bimo tetap tersenyum. 

"Udah makan mas?" Tanya Juni, mencairkan suasana kaku yang tercipta dan terasa mungkin hanya olehnya. "Mas pasti cape, bentar ya aku ke dapur ambil minum dulu buat mas." 

Tanpa menunggu jawaban, Juni berlalu keluar ke dapur untuk mengambilkan Bimo minum.

Bimo duduk dilantai yang dilapisi karpet merah. Kamar itu hanya berukuran 3x4m, ada 2 kasur single disudut2 ruang kamar.
Sebuah meja kecil dan kursi belajar serta lemari pakaian 2 pintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar