Minggu, 26 Oktober 2014

Ketulusan Hati 1




Gadis itu turun dari bus antar kota yang mengantarkannya pulang kembali kekota kelahirannya setelah 1 tahun dia tinggalkan tanpa pernah menjejaknya. 

Dia menghirup udara kotanya yang masih segar tanpa terlalu banyak polusi. Betapa rindunya dia pada kota ini. Tak banyak yang berubah dari kota ini sejak terakhir dia tinggalkan 1 tahun yang lalu. 


Dia memandang kanan kiri jalanan yang dilewatinya. Masih banyak persawahan yang terhampar disepanjang jalan yang dia lewati menuju rumahnya. Dia menerawang jauh, membayangkan sosok wanita dan seorang gadis kecil yang dirindukannya. Wanita yang melahirkannya yang dia tinggal setahun lalu. Masih teringat saat wanita itu mengantarnya ke terminal bus yang membawa dia ke Jakarta. Airmata berlinangan dari kedua mata indahnya. 



Apa kabarmu mak? tanyanya dalam hati. Menarik nafas sedikit lelah. Apa emak sehat selalu?


Banyak pertanyaan-pertanyaan melintas dibenaknya yang siap dimuntahkan lewat mulutnya pada emaknya. Merantau 1 tahun dikota Jakarta membuat dia tak punya waktu untuk pulang ke kampungnya. Ini pun majikannya mengijinkan dia pulang hanya 4 hari dan mewanti-wanti agar dia cepat kembali lagi.

Pekerjaannya yang padat membuat dia harus menekan kerinduannya pada kampung halamannya. Dia tahu bekerja dikota Jakarta begitu keras, tapi demi impiannya dia rela melakukan semua itu, setidaknya dalam pemikirannya hidupnya akan lebih baik jika dia bisa bekerja dikota besar karena penghasilan pasti akan jauh lebih besar dibanding dia bekerja dikotanya ini.


***


"Emak!!...emak aku kangeen!!" Teriak gadis itu pada seorang wanita setengah baya yang dia panggil emak. Sambil berlari menenteng tasnya kearah wanita itu.

"Sapa ya?" Ujar wanita itu melihat kearah gadis yang memanggilnya emak. "Walah anakku  Juni, cah ayuku." Kata wanita itu tak kalah kerasnya.

Mereka berpelukan erat. Setelah 1 tahun tak bertemu, gadis itu merasakan rindu yang membuncah didadanya pada emaknya alias ibunya. Tak terasa airmata mengalir dipipinya yang halus nan bersih. Gadis yang ayu, seayu wajah emaknya. Wajah yang seakan cermin itu, emak dan anak, hanya berbeda usia saja.

Keduanya lantas saling berangkulan masuk ke rumah. Berbagi cerita berdua. Melepas rindu karena 1 tahun berpisah.

"Bagaimana emak? Sehat aja tho?"

"Iya nduk...emak sehat-sehat kog."

"Si Alin kemana mak? Kog hampir sore begini belum pulang?" Tanya gadis itu pada emaknya. Alin adalah nama adik perempuannya yang kini sudah duduk dibangku SMP kelas 1. 


***


Nama gadis itu Junita, biasa dipanggil Juni karena lahir dibulan Juni, maka emak dan almarhum bapaknya menamai dia Junita. Bukan tanpa arti tapi hanya itu yang terlintas dibenak bapaknya saat menatap pertama kali wajah mungil nan ayu yang dimilikinya. Tahun ini genap 18 tahun usianya. Masih muda, selepas SMA, dia memberanikan diri merantau ke Jakarta mengadu nasib bertaruh dengan kerasnya hidup diJakarta.

Sejak bapaknya meninggal, secara naluri dia bergerak menopang keuangan keluarganya. Namun penghasilan dikota kecil tidaklah cukup besar buat lulusan SMU seperti dirinya. Beruntung ada temannya di Jakarta mengajaknya bekerja disebuah pusat perbelanjaan di sana sebagai seorang pelayan toko. Dan hasilnya lumayan untuk bisa menghidupi dia dan mengirim uang buat emak dan adiknya yang masih bersekolah dibangku SMP itu.


***


Pemuda itu menatap gadis itu tertegun. 1 tahun tak pernah dilihatnya gadis itu. Sekarang dia pulang. Bimo nama pemuda itu, dia mencintai gadis itu, namun apa daya, tak ada cinta gadis itu baginya. Dulu sebelum dia lulus dari sekolah pun, pernah dia ungkapkan perasaannya pada si gadis, namun jawaban gadis itu hanya

"Mas maaf ya, Juni cuma anggap mas Bimo kakak  saja, ga bisa jadi pacar mas Bimo. Ga papa ya mas?" 

Ucapan yang mengecewakan baginya namun harus dia terima dengan lapang dada. 

Cinta itu dia tau bukan cinta monyet, bukan pula cinta kakak pada adik, tapi cinta seorang lelaki pada wanita layaknya cinta dewasa, meski sang gadis saat itu masih sangat muda. 

"Mas Bimo, apa kabare mas?" Tanya si gadis sambil tersenyum cerah melihat Bimo.

"Baik...Juni apa kabare?" Tanya si pemuda sambil menenangkan degup jantungnya yang berdebar halus saat kembali menatap wajah dan senyuman sang gadis yang 1 tahun ini masih terus dirindukannya.

"Apik mas...dah lama ya ga ketemu ama mas...masih kerja di pabrik gula mas? Weeh aku kangen ama mas lo..." Ucap si gadis gamblang dan polos pada si pemuda.

Bimo merasa senang, hatinya ikut tersenyum seperti bibirnya yang trus saja tersenyum ketika dia mendengar si gadis mengangeni nya.

"Iya Jun, masih. Mas masih jadi pemuda kampung aja...ga kaya kamu wes jadi gadis kota. Kamu tambah ayu." Ucap bimo tanpa ragu memuji keayuan si gadis.

"Haalaah mas bisa wae muji aku...paling bisa deh. Ga lah mas kan aku di Jakarta kerja, ga ikutan jadi gadis2 metropolitan, cuma pelayan toko." Ujarnya sembari terkikik.

Gemas si Bimo menatapnya. Ingin mencubit pipi si gadis seperti dulu sering dia lakukan dan membuat si gadis manyun dan ngambek. Tapi dengan gampangnya cepat kembali tertawa saat dia menceritakan lelucon2 basi andalannya. 


***


Bimo teringat kenangan bersama gadis polos nan ayu itu. Terbayang kembali dipelupuk matanya masa kecil mereka berdua. Bimo melihatnya tumbuh dewasa. Mereka sudah berteman sejak si gadis masih sangat kecil, saat dia berumur 8 tahun dan pindah ke kota ini karena bapaknya dipindah tugas dikota ini. Tinggal di pemukiman yang sama dengan si gadis. Gadis mungil itu baru berumur 1 tahun. Lucunya, lincahnya. Ngomongnya cadel menggemaskan dan tawa serta teriakannya sangat keras. Kadang memekakkan telinga.

"Sapa namanya cah ayu??" Tanya Bimo saat pertama melihat gadis itu berjalan tertatih dengan kaki mungilnya. Sepertinya dia baru belajar berjalan karena terlihat belum begitu mahir melangkah. 

"Unii...Unii.." Ucapnya dengan mulut monyong-monyong lucu. Tubuhnya bergoyang-goyang kekanan dan kekiri demikian kuncir kudanya.

Bimo saat itu sudah duduk dibangku kelas 3 SD dan Juni masih berjalan tertatih-tatih karena baru bisa jalan namun sudah mulai berbicara agak lancar.

"Juni mas..." Ucap halus seorang wanita, mungkin ibunya pikir Bimo saat itu, karena mereka berdua begitu mirip. Paras ibunya seayu anaknya yang masih mungil itu.

"Mas e sapa? Baru ya tinggal disini? Soale ibu ga pernah liat sebelumnya." Ucap wanita itu lagi yang telah kuketahui memang ibu si Juni.

"Saya Bimo bu, iya baru beberapa hari ini bu tinggal dirumah itu." Ujarku menunjuk sebuah rumah tak jauh dari rumah Juni dan ibunya.


***


Dari pertemuan pertama itulah keluarga Juni dan Bimo akhirnya akrab. Bapak dan ibu Juni menyayangi Bimo seperti anak mereka demikian juga orangtua Bimo terhadap Juni. Terlebih ketika berumur 5 tahun ibu Juni melahirkan adik Juni, Alina. Juni sering diajak main kerumah Bimo, karena ibu Juni sibuk mengurus adiknya sedang bapaknya harus bekerja. Kadang bisa seharian Juni di rumah Bimo, bermain bersama Bimo yang memang anak tunggal. Bimo senang bermain bersama Juni, karena Juni ga cengeng, lincah dan bandel seperti laki-laki. 

Pernah suatu kali ada anak laki-laki sebayanya menggodanya. Dengan berani dia mencubit dan meninju anak itu hingga menangis. Ibu si anak sampai bilang pada ibu Bimo untuk mengawasi Juni, karena dipikir Juni adalah adik Bimo. Ibu Bimo kadang malah harus minta maaf kalau Juni sudah bandel keterlaluan pada anak tetangga. Orangtua Juni juga sampai merasa tidak enak karena membuat ibu bimo harus menanggung kelakuan anak gadisnya itu. Tetapi orangtua Bimo tak pernah mempermasalahkan itu karena bagi mereka Juni juga seperti anak gadis mereka yang nakal, namun lucu dan menggemaskan. 

Karena penyakit ibu Bimo, beliau dilarang untuk hamil lagi setelah memiliki Bimo, padahal mereka ingin sekali punya anak perempuan seayu dan selucu Juni tetapi itu tidak memungkinkan lagi. 

Dengan hadirnya Juni di antara mereka merupakan berkah buat mereka, karena Juni dengan kepolosan, kelucuannya mampu menghadirkan warna indah dalam kehidupan keluarga Bimo.

Bimo dan Juni pun sangat akrab, mereka seperti kakak adik. Bimo mengajari Juni saat Juni kesulitan mengerjakan pr maupun saat ada ulangan disekolah. Karena saat Bimo duduk di bangku SMU, Juni masih SD. Apapun Juni tanyakan pada Bimo dan dengan sabar Bimo mengajari Juni. 

Walau kemudian Bimo disibukkan dengan kelulusan dan mulai kuliah, namun kedekatan mereka tak pernah berakhir. Bimo yang berotak cerdas dan supel membuat Juni betah berlama-lama dengan Bimo, berdiskusi apa saja. Karena walau masih kecil Juni gadis yang kritis dan cerdas. Dia tumbuh menjadi gadis yang ayu, ceria dan pemberani.

Sampai suatu ketika Juni masuk SMU, perasaan Bimo mulai berubah. Dia mulai merasa getar2 aneh dihatinya saat melihat Juni, merasa percik2 sayang bukan hanya sebagai kakak kepada adik, bukan hanya sebagai teman biasa. Bimo ingin menjadikan Juni gadisnya, gadis yang dicintai dan dimilikinya. Perasaannya perasaan laki-laki dewasa terhadap seorang wanita. Tapi beda dengan Juni, perasaannya tetap sama pada Bimo, dia masih terlalu polos saat itu untuk menyadari bahwa Bimo menyayanginya lebih dari seorang kakak kepada adik atau kepada teman.

Sampai kata-kata itu Bimo ucapkan

"Juni, mas Bimo sayang Juni."

"Heehh...iya Juni tau mas Bimo sayang Juni, kan dari dulu juga mas Bimo emank sayang Juni." Katanya polos.

"Ehmmm tapi bukan sayang gitu...bukan sayang yang Juni rasain kaya dulu2, ini sayangnya beda. Mas Bimo mau Juni jadi pacar mas Bimo." Ucap bimo tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya yang sudah berkembang beda itu.

"Haah...maksud mas Bimo apa? Kog mau jadi pacar Juni. Mas Bimo kan mas nya Juni...kog mau pacaran?" Tanya Juni tak mengerti atau entah pura-pura tak mengerti. Walau Bimo harus akui gemas melihat Juni seperti itu. 

"Tapi Mas pengen jadi pacar Juni, jadi laki-laki yang bisa sayang Juni bukan hanya sebagai kakak, tapi sebagai laki-laki dewasa pada seorang wanita pada umumnya." Ujar bimo lagi.

Juni tertunduk mendengar kata-kata bimo.

"Mas maaf ya, Juni cuma anggap mas Bimo kakak  saja, ga bisa jadi pacar mas Bimo. Ga papa ya mas?" Kata-katanya tiba-tiba pada Bimo. 

Mengecewakan. Bimo tak tahu apa terlalu dini dia mengatakan hal itu pada Juni. Tapi Juni sudah 16 tahun saat itu dan bimo sudah 23 tahun. Sudah lulus kuliah dan mulai bekerja di 1 pabrik gula terbesar dikota itu serta mempunyai jabatan yang lumayan bisa dibanggakan. Dia berpikir tidaklah terlalu dini dia menyatakan perasaannya pada Juni. Karena dia tahu gadis itu gadis yang supel dan Bimo sering juga mendengar beberapa pemuda dipemukiman mereka membicarakan Juni dan keayuannya yang memikat hati. Keramahan dan keceriaannya yang membuat hati setiap orang menyukainya tanpa paksaan. Sering rasanya cemburu tiba-tiba hadir dalam hati Bimo, oleh karena itu dengan nekatnya Bimo berkata begitu pada Juni.

Namun berbeda pada Juni. Juni tak pernah berpikir lebih bahwa Bimo akan menyayangi dia lebih dari adik. Juni tak pernah berpikir akan bisa jadi pacar Bimo yang ganteng, gagah dan cerdas itu. Dia tahu juga karena mereka sudah lama kenal maka Juni saat itu tak siap kalau tiba-tiba mengubah perasaan dia menjadi perasaan berbeda dari perasaan seorang adik pada kakak ke perasaan seorang gadis yang memuja dan mencintai Bimo sebagai seorang laki-laki dewasa.


***


Bimo tak pernah lagi mengungkit lagi perasaannya pada Juni. Namun ada yang sedikit berbeda pada hubungannya dengan Juni. Juni agak sedikit canggung pada Bimo, mungkin karena dia mengetahui perasaan Bimo padanya. Walau Juni tetap berusaha bersikap biasa namun Bimo merasakan perbedaan itu sekecil apapun. 

Terlebih saat bapak Juni meninggal karena sakit, Juni sedikit berubah sedikit pendiam. Dia berusaha mati-matian membantu ibunya yang hanya berjualan warungan. Dengan peninggalan bapaknya yang tidak terlalu banyak, Juni berusaha ingin selalu membantu ibunya, entah membantu ibunya menjaga warung atau menjadi guru les di komplek perumahan temannya karena disana banyak anak-anak yang ingin les. Walau dia masih murid SMU tapi dengan kecerdasannya dan sifatnya yang ceria serta baik, banyak anak-anak yang suka diajar olehnya. 

"Mas, aku nanti kalo udah lulus mau ke Jakarta ya." Ucapnya suatu kali pada Bimo. 

Bimo terkejut setengah mati mendengar hal itu. Tak pernah terbayangkan dia akan ditinggal pergi jauh oleh Juni. Meski kini dia merasa tak berhak apapun atas apa yang diputuskan oleh Juni, namun kedekatan mereka membuat dia merasa sedikitnya dia punya hak berpendapat baik mungkin sebagai kakak atau teman yang sudah sedari kecil bersamanya.

"Juni, Jakarta itu jauh..apalagi kamu masih muda, mau apa disana?"

"Aku mau kerja disana mas. Mau mbantu emak dan untuk sekolah Alin." Ucapnya beralasan. Alin adalah adiknya yang saat itu bersekolah di bangku SD.

"Kenapa ga kerja dikota ini aja tho Jun, kan banyak kerjaan disini juga. Mas bisa bantu Juni juga kalo mau cari kerjaan."

"Ga ah mas, mau cari yang lebih baik dan kalo diJakarta gaji juga mungkin lebih gede."

"Kamu sok tau tho..emank kamu pikir kehidupan disana piye? Enak nurutmu?" 

"Ya kan Jakarta kota lebih gede dari kota ini, pasti lebih baik lah mas. Mas ga usah kuatir. Juni bisa jaga diri."

"Aku ga setuju kamu ke Jakarta Jun, tapi smua terserah kamu, aku tho ga punya hak atas kamu. Asal ga bikin susah emakmu dan Alin, aku bisa apa kalo kamu ngeyel." Ujar bimo sedikit kesal tapi berusaha pasrah akan keputusannya. Sejak awal bimo tahu Juni gadis yang keras kepala dan pemberani. Entah itu jadi kelebihan dia apa kekurangan dia, Bimo tak pernah tahu.


***


Saat kelulusan tiba, Bimo sudah tak tahu lagi kabar Juni karena kesibukan Bimo bekerja. Dia kadang bisa kerja dari pagi sampai malam. Hingga tiba-tiba Bimo tahu dari ibunya bahwa Juni pergi ke Jakarta.

Ada sepucuk surat buat Bimo yang diberikan Juni dan dititipkan pada ibunya, bukan diberikan langsung padanya.

Mas Bimo

Maaf ya Juni pergi ga pamitan langsung sama mas
Juni tahu mas ga suka juni pergi ke Jakarta
Tapi juni harap mas ngerti keadaan juni
Doakan juni baik-baik saja ya mas dan sukses dijakarta ya mas
Juni juga doain mas, semoga mas bisa tambah sukses dan cepet dapat jodoh gadis yang baik dan sayang ama mas
Maafin Juni ya mas yang bandel ini ^_^

Junita


***


"Juni libur berapa hari?" Tanya Bimo

"4 hari mas. Besok dah kudu balik lagi Jakarta. Laa mas sombong, kata ibu jarang pulang seh." Katanya. Dia memanggil ibu Bimo dengan sebutan ibu karena sejak kecil ibu Bimo sudah jadi ibu kedua bagi Juni.

"Laa mas kan kerja tho Jun, lagian balik ga kabar-kabar mas, jadi kan mas bisa balik dari kemaren-kemarin." Kata bimo beralasan. Ada sedikit kecewa menyelusup ke relung hati Bimo. Karena sejak gadis itu ke jakarta tak sekalipun dia mengontaknya. Bimo hanya tau cerita tentang dia dari ibunya atau ibu nya Juni saat Juni menelpon ibu Bimo atau ibunya.

"Maaf mas, tak pikir mas kan sibuk kerja, aku ndak mau ganggu mas." Ujarnya memberi alasan.

"Kaya ama sapa tho jun kamu itu..." Kata Bimo sedikit kesal dalam hati karena bertemu dengannya hanya tinggal sesaat lagi sebelum dia kembali ke Jakarta.

"Jam berapa besok pulang Jun?" Tanya bimo pada akhirnya.

"Jam 8 an mas, naik bis. Biar nyampe ga kemaleman juga."

"Ya wes besok mas anter ya, nti mas ijin ke atasan mas, jadi bisa nganter kamu."

"Ngrepoti ga mas? Kalo mas sibuk ga usah, ndak apa, aku bisa pulang sendiri kog mas." Dia menjawab.

"Ga kog Jun." Ujar Bimo.

Sore sampai menjelang malam mereka habiskan dengan mengobrol. Mereka mengobrol apa saja. Karena sudah lama tak bertemu dan mengobrol, mereka terlihat asik mengobrol sampai ibu Bimo memanggil dan mengajak makan Juni dirumah mereka. Dan malam itu Bimo mengantar Juni pulang, walaupun hal itu sebenarnya tak perlu, karena jarak rumah mereka yang begitu dekat. Entah mengapa ada perasaan aneh menyelusup dibatin Bimo. Bimo tak tahu itu apa. Yang pasti begitu berat Bimo harus melepas Juni terlebih besok Juni harus kembali lagi ke Jakarta.

Kali ini mereka sempat bertukar nomor handphone. Setidaknya Bimo tak mau kejadian setahun ini terulang lagi. Dia tak mau kehilangan kontak dengan Juni lagi. Walaupun dia tak bisa menjadi pacar atau kekasihnya setidaknya dia bisa tetap merasakan kehadiran Juni bersamanya meski hanya sebagai kakak atau status apapun yang Juni mau sematkan padanya. 


Setidaknya saat dia kangen pada gadis itu, dia bisa menelponnya, bertukar sapa dan kata. Dan hanya dengan itu dia bisa merasa bahagia bahkan sedikit tenang mendapati gadis itu baik-baik saja berada dikota besar seperti Jakarta yang terkenal keras.


***



"Kabari mas ya kalo sudah sampai Jakarta. Udah simpan nomor mas kan?" Ujar Bimo saat Juni menaiki bis yang akan membawanya ke Jakarta. Jauh dari Bimo.

Juni hanya mengangguk sambil tersenyum manis.

Desiran aneh kembali menyelusup dihati Bimo. Entah apa, seakan-akan dia bakal lama lagi bisa melihat senyum Juni yang begitu. Namun dia menepis perasaan aneh itu dari hatinya dan menetapkan hati bahwa Juni akan baik-baik saja. Dia akan selalu melihat senyum itu berkali-kali dalam hidupnya, walau mungkin ada laki-laki lain yang suatu saat mendapat senyum yang lebih istimewa dari itu.

"Baik-baik ya Jun. Jangan neko-neko ya diJakarta." Bimo menasehati penuh sayang.

"Ya mas ku yang ganteng." Ujar Juni dengan senyum nakalnya menggodaku. "Nanti nek aku balik lagi mas dah gandeng cah ayu yaa jadi mbakku...ayo tho, moso mas gantengku iki ndak ada yang nglirak-nglirik gitu...pasti laak banyak." Lanjutnya terus menggoda Bimo.

"Wes ojo guyon ah...masmu cuma pengen ama cah ayu yang lagi dalem bis mau ke jakarta ini." Ujar bimo sembari mengacak rambut Juni.

Juni tersipu. Dalam hatinya dia jadi merasa malu telah lancang menggoda Bimo. Dan dia merasa ter 'skak' oleh perkataan Bimo walau diucapkan dengan nada guyon.

"Haalah si mas...tetep wae." kata Juni sambil terkikik geli menutupi rasa malunya. "Ati-ati ya mas setir mobilnya. Kerja yang rajin." Ucap Juni terakhir kali sambil melambai saat bis perlahan mulai berjalan melaju meninggalkan kota itu menuju Jakarta. Menemui impiannya lagi.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar