Sabtu, 26 Januari 2013

Tentang Dia (4)

(4)


Berdua dengan Ernest di Bali membuat aku bahagia. Walau pertemuan itu hanya dianggapnya pertemuan dua teman biasa saja tapi bagiku momen-momen bersamanya adalah momen terindah bagi aku. Yang entah kapan akan bisa terulang lagi.

Bipp bipp bb aku berbunyi.

'Hai kei...lagi ngapain? Jangan lupa pulang say...I miss u so muach muach...
-__-'

Bbm dari Vero...aku tersenyum membayangkan Vero menghandle tugas-tugas sendirian.

'Miss u too ver...ya ampun besok kan aku pulang sayank...wait for me yaa...4 hari rasanya kurang lama nih liburanku, haiih haha'

'Haaa kurang lama, ya ampun say, aku udah rasanya seabad nunggu kamu. Apalagi tu krjaan kamu numpuk. Pak burhan minta aku handle sementara. Buseet kei...botak bisa-bisa aku hikss...please kasihani aku donk'

'Hahaha lebaay ah...'

'Cepetan pulang...ato klo ga besok aku nyusul ikut liburan juga wkwkwkkw'

'Hayoo kita buat pak Burhan kebakaran jenggot deh'

'Wakakakaka...' 


***

Bipp bipp

'Kei maaf ya hari ini aku harus ke jakarta lalu langsung terbang kembali ke NY. Ada urusan mendadak. Sorii ya kita cuma bisa ketemu 2 hari'

'Besok kamu pulang kan? Hati2 ya beib. Take care. Smoga suatu hari kita bisa ketemu lagi yaa.'

Bbm Ernest...aku terkejut. Karena mendadak dia mau pergi. Padahal awal rencana dia mau 1 minggu di bali, karena bisnis yang dia handle di bali agak rumit katanya. Dan baru 2 hari aku bersamanya, itupun ga sepanjang hari. Tiba2 dia harus pergi lagi.

'Iya nes gpp. Aku ngerti kesibukan kamu kog. Kamu kesini kan juga bukan sengaja berlibur dan menemaniku. Tapi untuk berbisnis.'

'Iya seh tapi aku ga tau kapan lagi bisa ketemu kamu kei. I really have a great time with you in Bali'

'Sama2 nes. Senang juga bisa ketemu kamu lagi. Klo ke jakarta kontak aku aja'

'Hopefully dear. Byee kei. Starting miss u.'

Heeem I miss u too nes all the time.


***

Kususuri pantai Kuta sendirian. Hari ini hari terakhir aku berlibur. Besok aku sudah harus terbang kembali ke Jakarta. Kembali ke rutintas pekerjaan dan kehidupanku yang sepi.

Angin mengibarkan rambut panjangku yang terurai. Aku sengaja tidak mengikatnya dan hasilnya rambutku kusut masai terkena angin.

Aku menendang-nendang pasir pantai pelan. Lalu duduk dipasir tanpa alas. Memandang ke arah laut. Merasa sepi. Andai Ernest masih disini. Mungkin aku ga akan sesepi ini. Bertemu dia lagi serasa bagai mimpi. Aku ga mau itu cepat berakhir. Tapi nyatanya hari ini dia harus pergi lagi. Dan entah kapan lagi aku bisa bertemu dia.

"Pijat nona?" Seorang embok menawari aku pijat pantai. Boleh juga kucoba untuk sekedar menghilangkan penatku. Mungkin secara fisik aku tak lelah, tapi jiwaku lelah, pikiranku lelah.

"Boleh mbok. Dimana?"

"Mari non ikut saya, dipinggir sana."

Aku mengikuti si embok yang berjalan ke tempat biasa dia memijat. Ada alas tikar diatas kursi pantai dan sehelai kain penutup badan terhampar disana.

Di bali sudah biasa memijat dipinggir pantai begitu. Karena biasanya bule-bule berbikini yang melakukan pijat itu, tapi kadang ada orang-orang Indonesia juga yang kebetulan sedang liburan ato berjalan2 dipantai menikmati layanan pijat ini.

Aku menelungkupkan badanku. Si embok menutupi badanku dengan kain yang tadi ada diatas tikar. Dia mulai memijatku perlahan.

"Nona dari mana asalnya?" Tanya si embok tiba2.

"Dari Jakarta mbok."

"Oo...sering maen Bali non?"

"Ya sudah beberapa kali mbok." Jawabku.

"Saya lihat 2 hari lalu nona datang ke pantai ni sama laki-laki, itu pacar nona apa suami nona? Kog sekarang ga menemani?" tanya si mbok dengan nada penasaran.

"Oo mbok lihat saya 2 hari lalu?" Aneh juga pikirku, karena mungkin banyak orang datang ke pantai ini, tapi dia masih ingat 2 hari lalu aku datang kesini bersama Ernest.

"Itu bukan pacar atau suami saya mbok. Dia teman saya." Jawabku menjelaskan siapa Ernest ke si mbok. Sebenarnya tak penting juga mengapa aku harus menjelaskan status Ernest pada si mbok, hanya saja aku cukup kagum pada ingatan si mbok pada kami berdua.

"Oo saya kira pacar atau suami nona."

"Memangnya kenapa mbok?" Tanyaku penasaran. Apa ada sikap kami atau tingkah laku kami yg membuat dia berpikir kami adalah pasangan.

"Laki-laki itu sering datang kemari non. Tapi selalu sendirian. Dia suka duduk lama di tempat itu. Jadi saya suka melihat dia." Katanya menjelaskan sambil menunjuk ke satu arah tempat ernest duduk sendirian dipantai ini.

"Oya?" Tanyaku lagi. Aku mulai tertarik pada pembicaraan si embok.

"Iya non, kadang dia duduk memandang laut dari siang sampai sore, setelah sunset baru dia pulang."

"Tapi masa dia ga pernah bawa teman sama sekalii mbok?"
 tanyaku penasaran karena ada yang tahu tentang kegiatan Ernest di pantai ini.

"Ga pernah non. Belum pernah sekalipun dia bawa teman. Baik laki-laki ataupun wanita. Baru saya lihat nona yang dia bawa."

"Makanya saya pikir nona pacar dia ato istri dia. Abis kalian mesra seperti sedang pacaran ato bulan madu." Lanjut si embok smbil tertawa kecil.

"Masa seh kami mesra? Biasa aja kali mbok." ujarku malu.

Aku berpikir kami ga terlalu mesra. Hanya sempat bergandeng tangan ato merangkul pundak tapi saat itu kami sedang bercanda. Ato saat ernest menyibak rambut yang menutupi mukaku. Tak sengaja dia memegang pipiku. Tapi semua itu kan tidak dia sengaja. Apa itu yg disebut mesra? Bagiku smua hal itu memang istimewa tapi mungkin bagi Ernest smua itu biasa saja.

"Nona cocok banget ma laki-laki itu non. Nona cantik, dia tampan." Lanjut si embok.

"Heem masa seh mbok. Makasih...tapi kami cuma berteman kog mbok."

"Ya kan ga tau non kalo emank jodoh seh ga kemana-kemana."

"Haiih kaya sinetron aja mbok. Pasti embok suka nonton sinetron percintaan gitu yaa." Kataku sambil tertawa. Si embok ikut tertawa.



***


Dikamarku aku tak bisa memejamkan mataku. Aku nyalakan teve tapi tak satu acarapun yang benar-benar membuat aku fokus melihatnya. Aku termenung memikirkan percakapanku dengan si embok tadi siang.

Aku membayangkan Ernest yang selalu datang sendirian ke pantai itu. Dan baru kali ini aku lah orang pertama yang diajaknya kesana. Sungguhkah dia tak pernah sekalipun mengajak seseorang kesana. Apakah benar dia tak punya orang spesial yang dia ajak ke pantai itu. Dan sebenarnya kenapa dia suka sekali pantai itu sehingga ketika pulang ke Bali dia selalu pergi kesana. Hari-harinya dihabiskan di pantai itu.

***

"Aku suka sekali ke pantai ini. Entah kenapa. Aku menemukan kedamaian saat melihat debur ombak pantai ini. Melihat burung-burung beterbangan diatas laut. Melihat awan, matahari terbenam." Katanya 2 hari lalu padaku.

"Kenapa pantai ini?" Tanyaku. Padahal setahuku di Bali banyak sekali pantai yang indah.

"Aku ga tau. Aku begitu suka suasana pantai ini. Memoriku selalu kembali saat aku kembali masuk ke pantai ini."

Aku hanya terdiam mendengarnya berbicara.

"Mungkin suatu hari saat aku datang kesini, memori tentangmu juga akan ada disini kei. Entah kapan aku bisa kesini lagi bersamamu." Suaranya pelan sambil menatap lurus ke arah laut. Terdengar sangat berat ditelingaku ketika dia mengucapkan itu.

Apakah dia akan lama tidak pulang ke Bali? Bukankah ini rumahnya, tempat dia dilahirkan. Suatu saat dia juga pasti akan pulang kesini. Mungkin bersama dengan istrinya, bersama anak-anaknya yang lucu-lucu. Bermain bersama dipantai ini.

Aku bergetar membayangkan seandainya aku adalah wanita itu, menggandeng tangan anak-anak kecil yang juga anak-anaknya. Impian itu terlalu indah. Hingga perih rasanya hatiku memikirkan juga bahwa tak mungkin dia memikirkannya hal yang sama seperti aku.

"Kei, kamu suka tipe cowo seperti apa?" Tanyanya tiba-tiba.

"Heem apa ya? Sederhana aja. Aku suka laki-laki yang bisa tertawa dan menangis bersamaku tanpa aku harus menjadi orang lain saat bersamanya. Yang mencintaiku tanpa harus berpikir kenapa dia mencintaiku. Aneh yaa kedengerannya."

"Kog kayanya sulit banget yaa?" Dia tertawa kecil. "Kupikir yang tampan, mapan, baik. Ya standar para wanita aja."

"Masa seh? Ga juga ah. Klo yang namanya cinta, kita harus nyaman saat bersama dia. Bukan hanya dengan wajahnya, kekayaan ato hanya kebaikannya. Toh kalau cinta harus terima sepaket, baik ama buruknya dia" Kataku menerangkan.
"Heem bener juga sih. Tapi apa ada yang seperti itu? Terlebih sekarang dunia udah dipenuhi orang-orang yang materialistis, yang ada hanya memandang fisik dan materi semata." Dia berkata dengan nada sedikit tinggi sambil menarik nafasnya. Aku kaget mendengar dia berkata seperti itu.
"Tapi ga smua seperti itu kog nes."
"Entahlah...tapi banyak yang kutemui seperti itu."

"Heem masa? Apa aku seperti itu jugakah?" Tanyaku sambil berpikir dan merasa pada diri sendiri.

"Mungkin kamu orang langka itu." Dia berkata sambil tertawa kecil.

Aku memandangnya. Ada segaris luka disenyumnya. Entah apa, apakah benar itu luka ato tidak aku tak tahu. Apa yang sedang dia pikirkan, rasakan. Aku hanya merasa ada sesuatu yang sudah lama dia pendam, hanya tak pernah dia katakan.



Apa itu nes? Apa? Tak terasa hatiku sakit saat memikirkannya. Aku dapat menangis dan tersenyum disaat bersamaan saat memikirkannya. Aku merindukannya.

Baru 2 hari bersamanya kini aku sudah kehilangan dia lagi. Sebenarnya hubungan apakah yang kupunya dengannya. Mengapa hanya menjadi temannya merupakan sakit bagiku. Mengapa menjadi temannya tak pernah cukup bagiku. 

'Nes, lagi apa? Aku baru saja memikirkanmu'

Aku mengirim bbm padanya. Hanya tanda centang, tak ada tulisan D atau R. Bbm itu tak terkirim. Menggantung...


***

Rabu, 16 Januari 2013

Part Of Me Is You 2


Aku memasuki kantorku dengan langkah lebar, Sally sekretarisku sudah menunggu didepan pintu kantorku dengan setumpuk file ditangannya.

“Pak, semua sudah menunggu pak Edward  diruangan rapat. Semua file yang diperlukan sudah saya siapkan pak dan semua diruang rapat sudah saya atur.”

“Oke Sally, 2 menit saya kesana ya.” Aku menjawab sambil melangkah masuk dan mengambil beberapa file tambahan di ruanganku.

Kring…kring…

“Halo John, bagaimana?” tanyaku seraya menyimak apa yang dikatakan John padaku.

“Oke thanks ya John.” Ujarku menutup ponselku dan berlalu keluar menuju ruang rapat dimana seluruh staffku berkumpul.

***

Aku, Edwardo Alexander Bagaskara namaku. Berumur hampir mendekati  35 tahun. Pengusaha muda asal Indonesia. Aku tinggal di New York sudah selama 3 tahun. Sebelum lama tinggal di kota ini, aku sudah bolak balik Indonesia-Amerika untuk mengurus perusahaan papa di New York maupun dikota lain di Indonesia baik itu di Jakarta, Denpasar dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Namun setelah usaha yang di Amerika berkembang sangat pesat aku memutuskan untuk menetap di kota ini. Lama meninggalkan Indonesia. Sedangkan usaha yang di Indonesia ditangani oleh adik tiriku, anak tante Sofia dan Papa, Emeraldi Alexander Bagaskara.

Mengingat adik tiriku itu, entah mengapa aku tak pernah bisa membenci dia seperti aku membenci ibunya. Kami berbeda umur 5 tahun, karena saat dia datang ke rumahku bersama ibunya, dia masih didalam kandungan mamanya dan aku sudah berumur 4 tahunan. Dan entah mengapa aku tak pernah merasa iri pada adik tiriku itu. Karena sesungguhnya papa tak pernah membedakan kami. Hanya saja aku tak pernah bisa menyukai ibunya, tante Sofia. Entah mengapa sejak kecil aku selalu merasa bahwa mereka telah merenggut kebahagiaan aku dan mama sampai akhirnya mama meninggal, tapi kebencianku sesungguhnya hanya tertuju pada tante Sofia, bukan pada Emmet, begitu aku memanggil adik tiriku. Tapi dia juga tidak menyalahkan aku akan hal itu. Dia juga tak membenciku, menyadari bahwa masa laluku yang suram dan apa yang dialami mama setelah kehadiran ibunya dan dirinya.

Suatu hubungan yang menurutku aneh tetapi nyata. Ikatan yang terjalin antara aku dan dia tak pernah bisa dimengerti oleh siapapun. Padahal sikapku terhadap ibunya tidaklah bisa dibilang baik. Tetapi anehnya, dia tak pernah membenciku dan aku mengakui  dia menyayangi ku demikian juga aku terhadapnya. Kami saling mendukung, saling menolong, dan bersinergi sehingga apapun yang kami lakukan membuat orang bisa berpikir betapa hubungan kami luar biasa aneh sekaligus mengagumkan.

Pernah sewaktu kami masih kecil, aku dimarahi oleh papa. Kami berdua kabur ke pantai sampai sore menjelang. Membuat papa dan tante Sofia begitu kuatir. Sampai dirumah aku dimarahi habis-habisan oleh papa bahkan papa ingin memukulku. Namun Emett kecil menghalang-halangi hingga pukulan papa mengenai kami berdua. Kami sama-sama menangis, dan amarah papa akhirnya mereda melihat tante Sofia turut menangis memeluk kami berdua. Namun aku menepis pelukan tante Sofia dan berlalu ke kamar. Baru saat  itu aku menyadari betapa adik tiriku itu menyayangiku sangat. Sebelumnya karena aku hanya mengerti  tentang suatu keadaan, bahwa  aku selalu menganggap dia pengganggu, dia dan mamanya, karena sejak mereka hadir aku seperti kehilangan mama dalam hidup aku. 

Walau aku tahu, tante Sofia sebenarnya tidak pernah jahat padaku dan walau aku merasa dia menyayangi aku juga tapi kebencian terhadapnya tak pernah aku mengerti dan sampai saat ini tetap seperti itu. Tapi tidak pada adik tiriku, Emmet.

Banyak orang yang mengenalku bilang aku orang yang dingin dan angkuh. Mungkin terlihat lewat raut mukaku, mataku yang besar dan tajam serta berwarna coklat gelap, rahangku yang kaku dengan hidung mancung menjulang. Sifatku juga yang pendiam dan senang menyendiri, membuat orang berpikir aku bukanlah orang yang hangat. Aku tidak suka pergi ke klub-klub kalau bukan karena urusan bisnis atau bertemu klien, atau bersosialisasi dengan mereka yang kebetulan mengadakan jamuan dirumah mereka. Semata-mata hanya urusan bisnis. Pergaulanku sebenarnya cukup luas, aku mempunyai beberapa teman dekat namun aku bukanlah orang yang senang hang out setiap malam. Pergaulanku dengan wanita juga tidak bisa dibilang sedikit. Aku bukan orang yang munafik, yang suci dan tidak butuh bersenang-senang sejenak karena aku laki-laki normal yang senang saat melihat wanita cantik menghampiriku. Walau begitu, bersenang-senang tanpa ikatan tidak membuatku lupa diri, aku masih memikirkan norma-norma ketimuran meskipun aku hidup lama diluar negeri. Kalau hanya berciuman dari biasa sampai panas pernah aku alami, namun tak sekalipun aku membawa wanita naik ke atas ranjang dan kehilangan daya sadarku untuk bercinta dengan mereka. Walau banyak dari wanita yang selama ini kukenal rela melakukan hal itu. Bagiku, aku tak mau menyesal melakukan hal itu dengan wanita yang tidak aku cintai, menjamah tubuh mereka tanpa perasaan. Seperti bercinta dengan wanita penghibur saja, meski aku tahu wanita-wanita yang kukenal tidak semua wanita baik-baik, namun satu prinsipku, aku hanya tak mau melangkahi batas yang aku sudah tetapkan sendiri. 

Aku pun tidak menampik kalau aku tidak pernah jatuh cinta pada seorang wanita, tapi sesungguhnya tidak ada cinta yang begitu dalam mengikat aku. Sampai aku bertemu gadis itu. Gadis yang menurutku mempesona dengan keberanian dan semangatnya. Gadis yang cerdas namun sederhana. Baru pertama kalinya dalam hidupku aku terpikat, aku merasakan arti cinta yang menggeliat dalam hatiku. Bukan hanya hatiku, pikiranku, jiwaku seakan terisi penuh olehnya. Sampai peristiwa itu memporak-porandakan impianku saat ingin bersamanya.

***

Jemima sedang duduk santai di sebuah café disebrang kantornya sambil membaca sebuah file. Dihadapannya ada secangkir teh dan kue muffin coklat yang dia sukai. Dia asik membaca hingga tidak menyadari sepasang mata mengamatinya dari kejauhan.

“Haii mima….waduhh jam istirahat ya istirahat donk…masih aja baca file kerjaan, rajin banget sih.” Sapa seorang temannya yang berjalan mendekat ke tempat dimana dia duduk.

Dia tersenyum, matanya mengarah kearah teman wanitanya itu.

“Ga kog, aku cuma lagi memeriksa ulang sebentar. Nanti kan ada rapat. Laporan harus udah beres, aku ga mau Pak Clinton jadi melotot lagi ke arahku. Pagi tadi entah ada badai apa dirumahnya sampai aku harus menerima kemarahan dia yang ga aku tau apa sebabnya.” Katanya sambil mengerucutkan mulutnya dengan kesal.

“Hahaha….rasain…ah biar aja, pak Clinton suka gitu deh, ga ujan ga badai ga cerah…kerjanya marah-marah aja, siapa sih yang ga pernah dapat semprotan merica dia. Rasanya asin-asin pedes gimana gitu.”

“Ha…ha emank kamu juga suka diomelin? Kan kamu sih pegawai favorit dia, Alice.”

Dia menatap jam tangan tipis wanita yang melingkar di tangan kanannya, setelah itu dia memakan muffinnya dan menyesap cangkir tehnya.

Setelah selasai melakukan hal itu, cepat dibereskannya kertas-kertas file yang sedikit berserakan yang ditaruhnya tadi diatas meja. Lalu segara bangkit bersama temannya dan kembali menyebrang dan memasuki Ramsay state building yang terletak tepat didepan café dimana dia tadi hanya memakan satu muffin dan minum secangkir teh sebagai makan siangnya.

***

Aku memperhatikan gerak-geriknya. Rambutnya yang tergerai sebahu bergerak ketika angin mengibarkan geraian rambutnya yang hitam legam. Langkahnya ringan seirama menapak jalanan kota yang sedikit basah akibat sisa hujan tadi pagi.

Jemima Anastasia, bekerja di Breakley Clinton Corporation sebagai staff ahli konstruksi. Tinggal di Elsemere street apartemen Suarez lt. 5 no 521. Setiap hari bekerja dari pukul 08.30-18.30. Berangkat ke kantornya mulai pukul 07.30 dengan berjalan kaki dan sampai kembali dirumahnya pukul 19.00 atau paling lambat 20.00 setiap harinya kecuali ada urusan mendadak dikantornya yang membuat dia bisa sampai pagi lagi baru kembali dari kantornya, hanya sekedar pulang berganti baju dan harus kembali ke kantornya melanjutkan pekerjaan dia. 
Dia punya kebiasaan berbelanja setiap hari selasa atau sabtu setiap minggunya di toko kelontong dekat apartemennya. Membeli beberapa keperluan dapur dan keperluan pribadinya. Setiap hari minggu pergi ke pasar lokal untuk berbelanja sayur. Dia jarang bepergian malam kecuali ada jamuan makan kantor atau acara-acara kantor lain yang mengharuskan dia pergi keluar saat malam hari. Kegiatan dia sehari-hari selain di apartemennya, hanya berbelanja bersama temannya Alice Van de Brough, seorang wanita berkebangsaan Belanda teman satu kantornya, memasak, berkebun atau pun traveling bersama beberapa teman pria dan wanita yang punya hobi sama dengannya.

Informasi lengkap yang baru saja aku terima dari John yang sampai mengantarkanku tiba dicafe ini dan mengamati gadis itu. Dia suka menghabiskan jam makan siang nya di café depan sebrang kantornya. Demikian tambahan informasi tentang gadis itu.

Sedari  tadi aku mengamatinya namun tak punya keberanian untuk mendekatinya, menyapanya dan berbicara seperti bertahun lalu kulakukan dengannya.

Aku memikirkan apa yang akan aku katakan padanya saat aku bertemu dengannya. Apa aku punya keberanian untuk mengatakan semuanya kepadanya dan terlebih lagi apa dia mau mendengar semua itu. 3 tahun aku pergi tanpa kabar lalu kalau sekarang aku hadir kembali dihadapannya apa dia siap menerimaku lagi. Dan 3 tahun ini aku berusaha melupakannya, mengubur perasaanku padanya, walau setiap malam bayangan wajahnya hadir dalam mimpi dan anganku.

Menatapnya tadi dari kejauhan menimbulkan desir indah dalam hatiku lagi. Dia makin dewasa, makin cantik, makin anggun. 3 tahun lalu ketika terakhir aku meninggalkannya, dia masih terlihat polos, khas anak kuliahan yang tidak terlihat menonjol, tak berdandan. Gayanya biasa saja, tak Nampak seperti gadis yang suka berdandan dan fashionable. Tetapi karena kepolosannya itu yang membuat aku terkagum-kagum padanya.

***

Flashback

“Maaf ya buku ini udah mau saya beli, kamu tolong cari buku lain saja.” Ujar seorang gadis yang tiba-tiba mengambil buku arsitektur dari tanganku dengan kasar.

“Eiitt itu aku yang lihat duluan ya, main serobot aja.” Kataku tak mau kalah.

“Aku perlu nih, ini buku langka bangeet, perlu untuk tugas akhir kuliah aku. Tolong donk ngalah.” Ujarnya tetap bertahan tak mau memberikan buku itu padaku lalu tergesa melangkah pergi kearah kasir.

“Ehh…ya ampun ni cewe…” kataku mengejarnya kearah kasir.

Dia meletakkan buku itu dikasir dan membuka dompetnya hendak membayar, tiba-tiba.

“Mba itu buku saya ya.” Ujarku sambil memberi uang pada kasirnya.

“Ehh…ga mba, itu punya saya.” Sambil menyingkirkan uang yang aku taruh di meja kasir dan hampir diambil oleh si kasir. Dia tergesa menyerahkan uangnya dan langsung diletakkan ditangan si kasir.

“Eehhh mba….jangan terima, itu buku saya, saya mau beli itu. Ni cewe tiba-tiba aja nyerobot sembarangan.” Ujarku menambahkan.

Si mba kasir terlihat bingung ingin menerima uang mana dan siapa yang berhak memiliki buku itu.

“Jadi punya siapa nih buku? Tolong jangan bikin bingung donk.”

“Saya.” Ujarku dan gadis itu bersamaan. Si mba hampir cemberut akibat keributan kami. Antrian dibelakang kami juga sudah mulai tidak sabar dan menegur kami.

“Aduh bayar dulu deh, ribut sana diluar…cepetan nih banyak yang antri.” Orang dibelakang kami sudah menegur kami.

“Sabar ya bu, ni cowo maen serobot aja buku yang saya perlu buat tugas kuliah.” Ujar gadis itu pada si ibu dibelakang kami.

Ehh ehh…pikirku gemas melihat gadis itu

“Udahlah mas, ngalah kek ama perempuan, masa ga malu sih ribut gara-gara rebutan buku. Kaya anak kecil. Lagian cewe ini kan butuh buat bikin tugas kuliahnya.” Ujar si ibu tadi.

“Jadi bagaimana? Sapa nih yang bayar?” kata si mba kasir akhirnya.

“Ya sudah deh kasi buat cewe ini.” Ujarku akhirnya mengakhiri pertikaian kami yang memalukan karena sudah berpasang-pasang mata melihat kearah kami.

“Makasih yaa.” Ujarnya sambil tersenyum dan mengerling kearahku.

Aku meninggalkan kasir dengan wajah sedikit malu dan kesal karena pertengkaran konyol dengan gadis yang bahkan aku tak kenal.


***


“Haii makasih ya, sori lo, bukan maksud aku mau tengkaran ama kamu tadi. Abis aku udah cari buku ini kemana-mana ga ketemu juga. Baru di toko buku tadi ada dan sisa cuma satu.” Tiba-tiba gadis yang tadi bertikai denganku di toko buku nongol dihadapanku lagi.

“Ya sudahlah.” Ujarku acuh. 

Aku sedikit gondok padanya karena sesungguhnya aku juga sangat menyukai buku itu. Buku itu memang sudah susah untuk dicari dan termasuk buku langka. Tapi karena pengarangnya adalah pengarang favoritku maka aku mati-matian ingin memilikinya. Aku sudah mencari diinternet secara online maupun ke toko-toko buku besar namun aku tak pernah menemukannya. Lalu tiba-tiba tanpa sengaja ditoko buku kecil itu, buku itu ada teronggok tersisa satu eksemplar saja. Hampir aku bersorak senang seperti menemukan harta benda sampai akhirnya gadis itu merampas dengan paksa buku itu dari tanganku.

“Marah ya?? Maaf deh, aku sungguh-sungguh butuh buku ini. Ehmmm atau gini deh, nanti kalau sudah aku pakai untuk bahan kuliahku, aku hubungi kamu dan aku kasi deh buku ini ke kamu. Karena sepertinya kamu kecewa sekali tak bisa memiliki buku ini. Apa penting banget ya buat kamu?” ujarnya panjang kepadaku.

“Ehh…boleh deh. Iya itu pengarang favoritku.” Kataku bersemangat akan tawarannya kepadaku.

“Kasi sini deh no telpon kamu, biar nanti kalau buku ini sudah ga aku butuhin, buat kamu deh.” Katanya akhirnya. 

Mungkin melihat binar kecewa aku tadi ditoko buku maka dia dengan baik hati memberikan buku itu setelah dia pakai untuk tugas kuliahnya.

Aku mencatat nomor ponselku di secarik kertas dan memberikannya kepadanya.

“Oke deh…Edward.” Ujarnya sambil melihat namaku yang tertulis dikertas itu. “Nanti kuhubungi ya, sabar ya. Oke bye dulu, aku ada perlu lainnya. Thanks ya sebelumnya.”

Lalu dengan langkah ringan dia meninggalkanku.

“Oh eh…ya thanks juga ya.” Ujarku takjub karena memikirkan buku itu. Hingga aku lupa bertanya tentang dia.

Yah…siapa namanya ya? Kenapa aku tak minta nomor penselnya juga. Apa dia akan menghubungi nanti? Aku memikirkan kebodohanku karena tak bertanya apapun tentang gadis itu. Ah biar deh, mau serius dia kasih atau tidak aku tak perduli. 

Tapi aku berharap dia akan memberikannya.


***


continue...

Senin, 14 Januari 2013

Anything For You


When memory came back n remembered the best japan drama in my life that I've ever seen

Part Of Me Is You 1


Aku berbaring menatap hamparan bintang dilangit. Mengingat senyumnya, tatapan matanya yang teduh. Seindah bintang-bintang di langit, seindah pula wajah itu terlukis dilangit malam ini.

Sedang apa kamu sekarang sayang…desahku resah…mengucap namanya dalam hatiku penuh kerinduan. Aku tersenyum, setiap mengingatnya aku tersenyum dan merindunya.

Angin malam mendesir menerbangkan daun-daun dimusim gugur ini. Tumben malam ini cuaca cerah karena sudah beberapa hari diguyur hujan terus menerus tanpa henti. Tapi hari ini cuaca begitu cerah, matahari bersinar cerah dan angin berhembus lembut. Sampai malam hari tak satu tetespun air hujan turun. Aku merapatkan jaketku karena angin yang kurasakan mulai menusuk kulit menembus persendian dan tulangku.

***

“Lima bulan lagi aku pulang,” kataku pada papa.

“Buat apa kamu lama-lama disana? Apa yang kamu lakukan selama ini, jangan jadi laki-laki pengecut. Ayo pulang temui wanita itu. Dia menanyakan terus keberadaanmu. Selain itu dia juga selesaikan masalahmu yang tertunda selama ini dengannya.” Ucap laki-laki yang kupanggil papa diseberang sana.

“Papa maaf aku sudah memutuskan tak lagi melanjutkan semuanya. Tolong katakana itu pada dia pa. Aku lelah selalu hidup dalam bayang-bayang papa selama ini.” Ucapku acuh.

“Anak kurang ajar, kamu pikir siapa yang memulai hal itu. Kamu yang awalnya setuju lalu sekarang kenapa mengelak..ayo tunjukkan tanggung jawabmu, kamu kan sudah dewasa.” Ucap laki-laki itu dengan nada marah.

“Pa aku udah ga mau tengkar lagi sama papa, jadi sudahlah pa.” ujarku masih dengan nada sopan, meredam kekesalan yang hampir terungkap lewat nada suaraku.

“Sayang, kamu pulang dulu yaa…kita bicarakan dirumah ya. Jangan bertengkar dengan papa di telpon. Masih bisa kan kita bicarakan baik-baik semuanya.” Ucap wanita yang sekarang menjadi istri menggantikan mamaku itu. Tante Sofia. Entah bagaimana bisa telpon itu sudah berpindah tangan ke tangan wanita itu.

“Iya tante, aku juga ga mau bertengkar dengan papa kog. Aku juga sudah lelah. Maka itu jangan urusi lagi kehidupan aku. Toh aku sudah melakukan yang papa mau selama ini. Jadi aku pikir sudah saatnya aku mencari kehidupan aku sendiri. Dan tolong jangan ikut campur masalah kami, tante ga tau apa-apa.” Ucapku sedikit kesal pada wanita itu. 

Entah mengapa tiba-tiba aku teringat mama. Dan mengingat betapa mama menderita setelah wanita itu berani datang tiba-tiba memasuki kehidupan kami yang indah pada awalnya dan secara tiba-tiba mengusik kehidupan itu. Aku selalu menganggap dia merebut papa. Papa yang awalnya milik kami, mama dan aku.

Brengsek umpatku tanpa suara. Kenapa harus wanita itu yang sekarang memegang telponnya dan berbicara padaku. Aku tak pernah mau berbicara dengannya. Sama sekali sejak dia mulai masuk dalam hidup kami, aku membencinya. Sangat membencinya. 

Dia bukan hanya membuat mamaku menderita tetapi juga sekaligus menyebabkan mama akhirnya meninggal.
Hanya karena aku masih menghormati papa saja masih bisa mengucap dan memanggil dia dengan sebutan tante. Kalau tidak, aku akan memanggil dia pelacur, wanita simpanan atau apalah dengan makian kasar lainnya.

“Sudah tante, jangan ikut campur, aku lelah.”

Klik…aku matikan telponnya dengan kesal. Entah mengapa setiap wanita itu ikut campur dalam pembicaraan antara aku dan papa, bukan malah menyelesaikan permasalahan tetapi makin membuat aku semakin kesal dan marah.





***

Aku menyusuri  jalanan kota New York  di musim gugur. Kota terpadat didunia dengan segala kesibukannya. Aku menyusuri jalanan dimana orang-orang yang tergesa-gesa bergegas pergi ke tempat tujuan mereka, namun ada juga yang berjalan santai dengan menikmati suasana musim gugur yang sebentar lagi beralih menjadi lebih dingin.

Daun-daun menguning dan berjatuhan mengotori jalanan kota yang tetap padat mendenyutkan nafasnya. Namun suasana musim gugur yang syahdu membuat keindahan tersendiri bagi setiap orang yang menginjakkan kakinya dikota ini. Terlebih agen-agen perjalanan yang sudah mulai sibuk membawa banyak wisatawan asing dari berbagai Negara untuk menikmati musim gugur dikota ini maupun didaerah-daerah sekitar New York yang terkenal indahnya.

Sambil terus berjalan aku menendang-nendang daun-daun yang terhampar dijalanan kota . 

Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sosok orang yang kukenal.

Gadis itu melangkah cepat dengan kaki-kakinya yang jenjang. Melewati kerumunan orang di sebrang jalan tempat aku berjalan. Dia nampak tergesa, rambutnya yang tergerai melambai kekanan dan kekiri. Badannya yang ramping meliuk-liuk menghindari orang yang berpapasan dengannya atau saat dia menerebos orang didepannya. Tak jarang senyumnya yang indah tersungging dimulutnya dan kata lirih ‘sorry’ tertangkap dari mulutnya yang mungil.

Aku tergesa mengikutinya. Mataku tak lepas dari sosok itu.
Mau kemana dia? Kenapa dia ada disini? Ya Tuhan apa yang dia lakukan disini? Aku sedikit bingung tapi sambil terus mengikuti  dia.

Di tikungan dia berbelok. Aku  tergagap kehilangan dia. Teryata dia memasuki sebuah gedung perkantoran megah di tangah kota New York, Ramsay state building. Salah satu gedung perkantoran paling sibuk dikota New York.

Pikiranku berkecamuk dengan berbagai hal tentang dia. Jemima Anastasia…aku mendesahkan namanya tanpa sadar. Wanita yang selama 3 tahun ini aku tinggalkan begitu saja tanpa kabar. Tanpa pesan jelas. 

Aku terlalu pengecut  untuk bertemu dengannya lagi semenjak peristiwa 3 tahun lalu yang penuh drama. Dengan hanya meninggalkan sepucuk surat tanpa nama dan alamat. Aku terlalu pengecut untuk mengatakan sendiri kepadanya tentang perasaanku padanya. Karena aku juga terbelit sendiri oleh kebodohanku menyetujui untuk menikahi wanita lain yang tidak sekalipun mampir dan hadir utuh dalam hati dan pikiranku. Sejak mengenal Jemima pertama kali tanpa sengaja, aku sudah dibuat kagum oleh keberaniannya, kemandiriannya, kecerdasannya dan cara dia membawa dirinya selama ini. Aku merasa dia begitu istimewa. Meski perkenalanku dengannya hanya berlangsung sederhana tanpa sesuatu yang  menggebu dan istimewa, tetapi bagiku dia begitu istimewa. Entah dia menganggap aku apa, tetapi bagiku dia begitu special. Dan aku begitu bodoh tak mengakui hal itu kepadanya. Terlebih lagi begitu bodoh hingga terjebak pada perjodohan konyol yang diatur oleh ayahku.

Tiinn….tiiinn…klakson mobil tiba-tiba mengagetkanku. Tanpa sadar aku berjalan hampir ke tengah jalan.

“Heeiii liat tanda jalan….sudah merah buat pejalan kaki.” Teriak seorang yang melongokkan kepalanya dari mobil yang membunyikan klakson dengan nada marah.

Cepat-cepat aku mundur kembali ketempat sebelum aku melangkah. Dan menunggu ulang lampu tanda pejalan kaki berubah hijau kembali. “Sori Pak…” teriakku padanya. Aku merutuki lamunanku pada Jemima sehingga membuatku hampir tertabrak mobil.

Saat lampu hijau nyala, segera aku menyebrang dengan sedikit berlari dan menuju kearah Ramsay state building.

Aku membuka pintu gedung itu. Sampai didalam gedung aku sedikit  bingung, karena aku tak tahu kemana arah Jemima tadi pergi, ke lantai berapa, ke ruangan mana.

Aku merasa sedikit bodoh karena aku tak tahu apapun tentang Jemima yang berada di kota ini. Atau apa itu ilusiku saja yang melihatnya dikota ini. Tapi melihatnya tadi terasa begitu nyata.

Aku bingung, hingga tiba-tiba…

“Tuan ada yang bisa saya bantu?” petugas security bertanya padaku karena mungkin melihat kebingungan aku.

“Hmmm…sori saya sedikit bingung pak,” ujarku, “Tadi saya melihat teman saya masuk ke gedung ini, tapi saya tak tahu dia  kearah mana, naik ke lantai berapa danke ruangan mana.” Ujarku lanjut sambil menggaruk-garuk rambutku yang tiba-tiba terasa gatal.

Dia tersenyum kearahku “Wah susah itu Tuan, gedung ini ada 50 lantai dan banyak sekali ruangan di dalam gedung ini. Banyak perkantoran juga ada digedung ini. Dia bekerja dimana? Siapa tahu mungkin saya mengenalnya.”

“Justru itu saya tidak tahu.” Ujarku sambil tersenyum padanya.


Aku meninggalkan gedung dengan langkah gontai. Hatiku menghangat, membayangkan Jemima, wanita yang selalu aku rindukan berada dalam 1 kota bersamaku. Meskipun aku tak tahu dimana dia tinggal, apa yang dia lakukan dikota ini. Tetapi membayangkan suatu hari aku bisa bertemu lagi dengannya, menatapanya, berbicara dengannya membuat bibirku tersenyum dan mataku berbinar.

“Haii…John bisa kamu bantu aku? Aku lagi cari informasi nih tentang seseorang”

Aku menutup pembicaraanku dengan John dan berharap orang kepercayaanku itu segera menemukan informasi yang kumau secepatnya.


To be Continued