Aku memasuki kantorku dengan langkah lebar, Sally
sekretarisku sudah menunggu didepan pintu kantorku dengan setumpuk file
ditangannya.
“Pak, semua sudah menunggu pak Edward diruangan rapat. Semua file yang diperlukan sudah
saya siapkan pak dan semua diruang rapat sudah saya atur.”
“Oke Sally, 2 menit saya kesana ya.” Aku menjawab sambil
melangkah masuk dan mengambil beberapa file tambahan di ruanganku.
Kring…kring…
“Halo John, bagaimana?” tanyaku seraya menyimak apa yang
dikatakan John padaku.
“Oke thanks ya John.” Ujarku menutup ponselku dan berlalu
keluar menuju ruang rapat dimana seluruh staffku berkumpul.
***
Aku, Edwardo Alexander Bagaskara namaku. Berumur hampir
mendekati 35 tahun. Pengusaha muda asal
Indonesia. Aku tinggal di New York sudah selama 3 tahun. Sebelum lama tinggal
di kota ini, aku sudah bolak balik Indonesia-Amerika untuk mengurus perusahaan
papa di New York maupun dikota lain di Indonesia baik itu di Jakarta, Denpasar
dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Namun setelah usaha yang di
Amerika berkembang sangat pesat aku memutuskan untuk menetap di kota ini. Lama
meninggalkan Indonesia. Sedangkan usaha yang di Indonesia ditangani oleh adik
tiriku, anak tante Sofia dan Papa, Emeraldi Alexander Bagaskara.
Mengingat adik tiriku itu, entah mengapa aku tak pernah bisa
membenci dia seperti aku membenci ibunya. Kami berbeda umur 5 tahun, karena
saat dia datang ke rumahku bersama ibunya, dia masih didalam kandungan mamanya
dan aku sudah berumur 4 tahunan. Dan entah mengapa aku tak pernah merasa iri pada
adik tiriku itu. Karena sesungguhnya papa tak pernah membedakan kami. Hanya
saja aku tak pernah bisa menyukai ibunya, tante Sofia. Entah mengapa sejak
kecil aku selalu merasa bahwa mereka telah merenggut kebahagiaan aku dan mama
sampai akhirnya mama meninggal, tapi kebencianku sesungguhnya hanya tertuju
pada tante Sofia, bukan pada Emmet, begitu aku memanggil adik tiriku. Tapi dia
juga tidak menyalahkan aku akan hal itu. Dia juga tak membenciku, menyadari
bahwa masa laluku yang suram dan apa yang dialami mama setelah kehadiran ibunya
dan dirinya.
Suatu hubungan yang menurutku aneh tetapi nyata. Ikatan yang
terjalin antara aku dan dia tak pernah bisa dimengerti oleh siapapun. Padahal
sikapku terhadap ibunya tidaklah bisa dibilang baik. Tetapi anehnya, dia tak
pernah membenciku dan aku mengakui dia menyayangi
ku demikian juga aku terhadapnya. Kami saling mendukung, saling menolong, dan
bersinergi sehingga apapun yang kami lakukan membuat orang bisa berpikir betapa
hubungan kami luar biasa aneh sekaligus mengagumkan.
Pernah sewaktu kami masih kecil, aku dimarahi oleh papa.
Kami berdua kabur ke pantai sampai sore menjelang. Membuat papa dan tante Sofia begitu kuatir. Sampai dirumah aku dimarahi habis-habisan oleh papa bahkan papa ingin
memukulku. Namun Emett kecil menghalang-halangi hingga pukulan papa mengenai
kami berdua. Kami sama-sama menangis, dan amarah papa akhirnya mereda melihat
tante Sofia turut menangis memeluk kami berdua. Namun aku menepis pelukan tante
Sofia dan berlalu ke kamar. Baru saat
itu aku menyadari betapa adik tiriku itu menyayangiku sangat. Sebelumnya
karena aku hanya mengerti tentang suatu keadaan, bahwa aku selalu menganggap dia
pengganggu, dia dan mamanya, karena sejak mereka hadir aku seperti kehilangan
mama dalam hidup aku.
Walau aku tahu, tante Sofia sebenarnya tidak pernah jahat
padaku dan walau aku merasa dia menyayangi aku juga tapi kebencian terhadapnya
tak pernah aku mengerti dan sampai saat ini tetap seperti itu. Tapi tidak pada
adik tiriku, Emmet.
Banyak orang yang mengenalku bilang aku orang yang dingin
dan angkuh. Mungkin terlihat lewat raut mukaku, mataku yang besar dan tajam
serta berwarna coklat gelap, rahangku yang kaku dengan hidung mancung
menjulang. Sifatku juga yang pendiam dan senang menyendiri, membuat orang
berpikir aku bukanlah orang yang hangat. Aku tidak suka pergi ke klub-klub
kalau bukan karena urusan bisnis atau bertemu klien, atau bersosialisasi dengan
mereka yang kebetulan mengadakan jamuan dirumah mereka. Semata-mata hanya
urusan bisnis. Pergaulanku sebenarnya cukup luas, aku mempunyai beberapa teman
dekat namun aku bukanlah orang yang senang hang out setiap malam. Pergaulanku
dengan wanita juga tidak bisa dibilang sedikit. Aku bukan orang yang munafik,
yang suci dan tidak butuh bersenang-senang sejenak karena aku laki-laki normal
yang senang saat melihat wanita cantik menghampiriku. Walau begitu,
bersenang-senang tanpa ikatan tidak membuatku lupa diri, aku masih memikirkan
norma-norma ketimuran meskipun aku hidup lama diluar negeri. Kalau hanya
berciuman dari biasa sampai panas pernah aku alami, namun tak sekalipun aku
membawa wanita naik ke atas ranjang dan kehilangan daya sadarku untuk bercinta
dengan mereka. Walau banyak dari wanita yang selama ini kukenal rela melakukan
hal itu. Bagiku, aku tak mau menyesal melakukan hal itu dengan wanita yang
tidak aku cintai, menjamah tubuh mereka tanpa perasaan. Seperti bercinta dengan
wanita penghibur saja, meski aku tahu wanita-wanita yang kukenal tidak semua wanita
baik-baik, namun satu prinsipku, aku hanya tak mau melangkahi batas yang aku sudah
tetapkan sendiri.
Aku pun tidak menampik kalau aku tidak pernah jatuh cinta pada seorang wanita, tapi sesungguhnya tidak ada cinta yang begitu dalam mengikat aku. Sampai aku bertemu gadis itu. Gadis yang menurutku mempesona
dengan keberanian dan semangatnya. Gadis yang cerdas namun sederhana. Baru
pertama kalinya dalam hidupku aku terpikat, aku merasakan arti cinta yang
menggeliat dalam hatiku. Bukan hanya hatiku, pikiranku, jiwaku seakan terisi
penuh olehnya. Sampai peristiwa itu memporak-porandakan impianku saat ingin bersamanya.
***
Jemima sedang duduk santai di sebuah café disebrang
kantornya sambil membaca sebuah file. Dihadapannya ada secangkir teh dan kue
muffin coklat yang dia sukai. Dia asik membaca hingga tidak menyadari sepasang
mata mengamatinya dari kejauhan.
“Haii mima….waduhh jam istirahat ya istirahat donk…masih aja
baca file kerjaan, rajin banget sih.” Sapa seorang temannya yang berjalan
mendekat ke tempat dimana dia duduk.
Dia tersenyum, matanya mengarah kearah teman wanitanya itu.
“Ga kog, aku cuma lagi memeriksa ulang sebentar. Nanti kan ada
rapat. Laporan harus udah beres, aku ga mau Pak Clinton jadi melotot lagi ke
arahku. Pagi tadi entah ada badai apa dirumahnya sampai aku harus menerima
kemarahan dia yang ga aku tau apa sebabnya.” Katanya sambil mengerucutkan
mulutnya dengan kesal.
“Hahaha….rasain…ah biar aja, pak Clinton suka gitu deh, ga
ujan ga badai ga cerah…kerjanya marah-marah aja, siapa sih yang ga pernah dapat
semprotan merica dia. Rasanya asin-asin pedes gimana gitu.”
“Ha…ha emank kamu juga suka diomelin? Kan kamu sih pegawai
favorit dia, Alice.”
Dia menatap jam tangan tipis wanita yang melingkar di tangan
kanannya, setelah itu dia memakan muffinnya dan menyesap cangkir tehnya.
Setelah selasai melakukan hal itu, cepat dibereskannya kertas-kertas file yang sedikit berserakan yang ditaruhnya tadi diatas meja.
Lalu segara bangkit bersama temannya dan kembali menyebrang dan memasuki Ramsay
state building yang terletak tepat didepan café dimana dia tadi hanya memakan satu muffin dan minum secangkir teh sebagai makan siangnya.
***
Aku memperhatikan gerak-geriknya. Rambutnya yang tergerai
sebahu bergerak ketika angin mengibarkan geraian rambutnya yang hitam legam.
Langkahnya ringan seirama menapak jalanan kota yang sedikit basah akibat sisa
hujan tadi pagi.
Jemima Anastasia, bekerja di Breakley Clinton Corporation
sebagai staff ahli konstruksi. Tinggal di Elsemere street apartemen Suarez lt. 5
no 521. Setiap hari bekerja dari pukul 08.30-18.30. Berangkat ke kantornya
mulai pukul 07.30 dengan berjalan kaki dan sampai kembali dirumahnya pukul
19.00 atau paling lambat 20.00 setiap harinya kecuali ada urusan mendadak
dikantornya yang membuat dia bisa sampai pagi lagi baru kembali dari kantornya,
hanya sekedar pulang berganti baju dan harus kembali ke kantornya melanjutkan
pekerjaan dia.
Dia punya kebiasaan berbelanja setiap hari selasa atau sabtu setiap minggunya di toko kelontong dekat apartemennya. Membeli beberapa
keperluan dapur dan keperluan pribadinya. Setiap hari minggu pergi ke pasar
lokal untuk berbelanja sayur. Dia jarang bepergian malam kecuali ada jamuan
makan kantor atau acara-acara kantor lain yang mengharuskan dia pergi keluar
saat malam hari. Kegiatan dia sehari-hari selain di apartemennya, hanya
berbelanja bersama temannya Alice Van de Brough, seorang wanita berkebangsaan
Belanda teman satu kantornya, memasak, berkebun atau pun traveling bersama
beberapa teman pria dan wanita yang punya hobi sama dengannya.
Informasi lengkap yang baru saja aku terima dari John yang
sampai mengantarkanku tiba dicafe ini dan mengamati gadis itu. Dia suka
menghabiskan jam makan siang nya di café depan sebrang kantornya. Demikian
tambahan informasi tentang gadis itu.
Sedari tadi aku
mengamatinya namun tak punya keberanian untuk mendekatinya, menyapanya dan
berbicara seperti bertahun lalu kulakukan dengannya.
Aku memikirkan apa yang akan aku katakan padanya saat aku
bertemu dengannya. Apa aku punya keberanian untuk mengatakan semuanya kepadanya
dan terlebih lagi apa dia mau mendengar semua itu. 3 tahun aku pergi tanpa
kabar lalu kalau sekarang aku hadir kembali dihadapannya apa dia siap
menerimaku lagi. Dan 3 tahun ini aku berusaha melupakannya, mengubur perasaanku
padanya, walau setiap malam bayangan wajahnya hadir dalam mimpi dan anganku.
Menatapnya tadi dari kejauhan menimbulkan desir indah dalam
hatiku lagi. Dia makin dewasa, makin cantik, makin anggun. 3 tahun lalu ketika
terakhir aku meninggalkannya, dia masih terlihat polos, khas anak kuliahan yang
tidak terlihat menonjol, tak berdandan. Gayanya biasa saja, tak Nampak seperti
gadis yang suka berdandan dan fashionable. Tetapi karena kepolosannya itu yang
membuat aku terkagum-kagum padanya.
***
Flashback
“Maaf ya buku ini udah mau saya beli, kamu tolong cari buku
lain saja.” Ujar seorang gadis yang tiba-tiba mengambil buku arsitektur dari
tanganku dengan kasar.
“Eiitt itu aku yang lihat duluan ya, main serobot aja.”
Kataku tak mau kalah.
“Aku perlu nih, ini buku langka bangeet, perlu untuk tugas
akhir kuliah aku. Tolong donk ngalah.” Ujarnya tetap bertahan tak mau
memberikan buku itu padaku lalu tergesa melangkah pergi kearah kasir.
“Ehh…ya ampun ni cewe…” kataku mengejarnya kearah kasir.
Dia meletakkan buku itu dikasir dan membuka dompetnya hendak
membayar, tiba-tiba.
“Mba itu buku saya ya.” Ujarku sambil memberi uang pada
kasirnya.
“Ehh…ga mba, itu punya saya.” Sambil menyingkirkan uang yang
aku taruh di meja kasir dan hampir diambil oleh si kasir. Dia tergesa
menyerahkan uangnya dan langsung diletakkan ditangan si kasir.
“Eehhh mba….jangan terima, itu buku saya, saya mau beli itu.
Ni cewe tiba-tiba aja nyerobot sembarangan.” Ujarku menambahkan.
Si mba kasir terlihat bingung ingin menerima uang mana dan
siapa yang berhak memiliki buku itu.
“Jadi punya siapa nih buku? Tolong jangan bikin bingung
donk.”
“Saya.” Ujarku dan gadis itu bersamaan. Si mba hampir
cemberut akibat keributan kami. Antrian dibelakang kami juga sudah mulai tidak
sabar dan menegur kami.
“Aduh bayar dulu deh, ribut sana diluar…cepetan nih banyak
yang antri.” Orang dibelakang kami sudah menegur kami.
“Sabar ya bu, ni cowo maen serobot aja buku yang saya perlu
buat tugas kuliah.” Ujar gadis itu pada si ibu dibelakang kami.
Ehh ehh…pikirku gemas melihat gadis itu
“Udahlah mas, ngalah kek ama perempuan, masa ga malu sih
ribut gara-gara rebutan buku. Kaya anak kecil. Lagian cewe ini kan butuh buat
bikin tugas kuliahnya.” Ujar si ibu tadi.
“Jadi bagaimana? Sapa nih yang bayar?” kata si mba kasir
akhirnya.
“Ya sudah deh kasi buat cewe ini.” Ujarku akhirnya
mengakhiri pertikaian kami yang memalukan karena sudah berpasang-pasang mata
melihat kearah kami.
“Makasih yaa.” Ujarnya sambil tersenyum dan mengerling
kearahku.
Aku meninggalkan kasir dengan wajah sedikit malu dan kesal karena
pertengkaran konyol dengan gadis yang bahkan aku tak kenal.
***
“Haii makasih ya, sori lo, bukan maksud aku mau tengkaran
ama kamu tadi. Abis aku udah cari buku ini kemana-mana ga ketemu juga. Baru di
toko buku tadi ada dan sisa cuma satu.” Tiba-tiba gadis yang tadi bertikai
denganku di toko buku nongol dihadapanku lagi.
“Ya sudahlah.” Ujarku acuh.
Aku sedikit gondok padanya
karena sesungguhnya aku juga sangat menyukai buku itu. Buku itu memang sudah
susah untuk dicari dan termasuk buku langka. Tapi karena pengarangnya adalah
pengarang favoritku maka aku mati-matian ingin memilikinya. Aku sudah mencari
diinternet secara online maupun ke toko-toko buku besar namun aku tak pernah
menemukannya. Lalu tiba-tiba tanpa sengaja ditoko buku kecil itu, buku itu ada
teronggok tersisa satu eksemplar saja. Hampir aku bersorak senang seperti
menemukan harta benda sampai akhirnya gadis itu merampas dengan paksa buku itu
dari tanganku.
“Marah ya?? Maaf deh, aku sungguh-sungguh butuh buku ini.
Ehmmm atau gini deh, nanti kalau sudah aku pakai untuk bahan kuliahku, aku
hubungi kamu dan aku kasi deh buku ini ke kamu. Karena sepertinya kamu kecewa
sekali tak bisa memiliki buku ini. Apa penting banget ya buat kamu?” ujarnya
panjang kepadaku.
“Ehh…boleh deh. Iya itu pengarang favoritku.” Kataku
bersemangat akan tawarannya kepadaku.
“Kasi sini deh no telpon kamu, biar nanti kalau buku ini
sudah ga aku butuhin, buat kamu deh.” Katanya akhirnya.
Mungkin melihat binar
kecewa aku tadi ditoko buku maka dia dengan baik hati memberikan buku itu
setelah dia pakai untuk tugas kuliahnya.
Aku mencatat nomor ponselku di secarik kertas dan
memberikannya kepadanya.
“Oke deh…Edward.” Ujarnya sambil melihat namaku yang
tertulis dikertas itu. “Nanti kuhubungi ya, sabar ya. Oke bye dulu, aku ada
perlu lainnya. Thanks ya sebelumnya.”
Lalu dengan langkah ringan dia meninggalkanku.
“Oh eh…ya thanks juga ya.” Ujarku takjub karena memikirkan
buku itu. Hingga aku lupa bertanya tentang dia.
Yah…siapa namanya ya? Kenapa aku tak minta nomor penselnya
juga. Apa dia akan menghubungi nanti? Aku memikirkan kebodohanku karena tak
bertanya apapun tentang gadis itu. Ah biar deh, mau serius dia kasih atau tidak
aku tak perduli.
Tapi aku berharap dia akan memberikannya.
***
continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar