Rabu, 16 Januari 2013

Part Of Me Is You 2


Aku memasuki kantorku dengan langkah lebar, Sally sekretarisku sudah menunggu didepan pintu kantorku dengan setumpuk file ditangannya.

“Pak, semua sudah menunggu pak Edward  diruangan rapat. Semua file yang diperlukan sudah saya siapkan pak dan semua diruang rapat sudah saya atur.”

“Oke Sally, 2 menit saya kesana ya.” Aku menjawab sambil melangkah masuk dan mengambil beberapa file tambahan di ruanganku.

Kring…kring…

“Halo John, bagaimana?” tanyaku seraya menyimak apa yang dikatakan John padaku.

“Oke thanks ya John.” Ujarku menutup ponselku dan berlalu keluar menuju ruang rapat dimana seluruh staffku berkumpul.

***

Aku, Edwardo Alexander Bagaskara namaku. Berumur hampir mendekati  35 tahun. Pengusaha muda asal Indonesia. Aku tinggal di New York sudah selama 3 tahun. Sebelum lama tinggal di kota ini, aku sudah bolak balik Indonesia-Amerika untuk mengurus perusahaan papa di New York maupun dikota lain di Indonesia baik itu di Jakarta, Denpasar dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Namun setelah usaha yang di Amerika berkembang sangat pesat aku memutuskan untuk menetap di kota ini. Lama meninggalkan Indonesia. Sedangkan usaha yang di Indonesia ditangani oleh adik tiriku, anak tante Sofia dan Papa, Emeraldi Alexander Bagaskara.

Mengingat adik tiriku itu, entah mengapa aku tak pernah bisa membenci dia seperti aku membenci ibunya. Kami berbeda umur 5 tahun, karena saat dia datang ke rumahku bersama ibunya, dia masih didalam kandungan mamanya dan aku sudah berumur 4 tahunan. Dan entah mengapa aku tak pernah merasa iri pada adik tiriku itu. Karena sesungguhnya papa tak pernah membedakan kami. Hanya saja aku tak pernah bisa menyukai ibunya, tante Sofia. Entah mengapa sejak kecil aku selalu merasa bahwa mereka telah merenggut kebahagiaan aku dan mama sampai akhirnya mama meninggal, tapi kebencianku sesungguhnya hanya tertuju pada tante Sofia, bukan pada Emmet, begitu aku memanggil adik tiriku. Tapi dia juga tidak menyalahkan aku akan hal itu. Dia juga tak membenciku, menyadari bahwa masa laluku yang suram dan apa yang dialami mama setelah kehadiran ibunya dan dirinya.

Suatu hubungan yang menurutku aneh tetapi nyata. Ikatan yang terjalin antara aku dan dia tak pernah bisa dimengerti oleh siapapun. Padahal sikapku terhadap ibunya tidaklah bisa dibilang baik. Tetapi anehnya, dia tak pernah membenciku dan aku mengakui  dia menyayangi ku demikian juga aku terhadapnya. Kami saling mendukung, saling menolong, dan bersinergi sehingga apapun yang kami lakukan membuat orang bisa berpikir betapa hubungan kami luar biasa aneh sekaligus mengagumkan.

Pernah sewaktu kami masih kecil, aku dimarahi oleh papa. Kami berdua kabur ke pantai sampai sore menjelang. Membuat papa dan tante Sofia begitu kuatir. Sampai dirumah aku dimarahi habis-habisan oleh papa bahkan papa ingin memukulku. Namun Emett kecil menghalang-halangi hingga pukulan papa mengenai kami berdua. Kami sama-sama menangis, dan amarah papa akhirnya mereda melihat tante Sofia turut menangis memeluk kami berdua. Namun aku menepis pelukan tante Sofia dan berlalu ke kamar. Baru saat  itu aku menyadari betapa adik tiriku itu menyayangiku sangat. Sebelumnya karena aku hanya mengerti  tentang suatu keadaan, bahwa  aku selalu menganggap dia pengganggu, dia dan mamanya, karena sejak mereka hadir aku seperti kehilangan mama dalam hidup aku. 

Walau aku tahu, tante Sofia sebenarnya tidak pernah jahat padaku dan walau aku merasa dia menyayangi aku juga tapi kebencian terhadapnya tak pernah aku mengerti dan sampai saat ini tetap seperti itu. Tapi tidak pada adik tiriku, Emmet.

Banyak orang yang mengenalku bilang aku orang yang dingin dan angkuh. Mungkin terlihat lewat raut mukaku, mataku yang besar dan tajam serta berwarna coklat gelap, rahangku yang kaku dengan hidung mancung menjulang. Sifatku juga yang pendiam dan senang menyendiri, membuat orang berpikir aku bukanlah orang yang hangat. Aku tidak suka pergi ke klub-klub kalau bukan karena urusan bisnis atau bertemu klien, atau bersosialisasi dengan mereka yang kebetulan mengadakan jamuan dirumah mereka. Semata-mata hanya urusan bisnis. Pergaulanku sebenarnya cukup luas, aku mempunyai beberapa teman dekat namun aku bukanlah orang yang senang hang out setiap malam. Pergaulanku dengan wanita juga tidak bisa dibilang sedikit. Aku bukan orang yang munafik, yang suci dan tidak butuh bersenang-senang sejenak karena aku laki-laki normal yang senang saat melihat wanita cantik menghampiriku. Walau begitu, bersenang-senang tanpa ikatan tidak membuatku lupa diri, aku masih memikirkan norma-norma ketimuran meskipun aku hidup lama diluar negeri. Kalau hanya berciuman dari biasa sampai panas pernah aku alami, namun tak sekalipun aku membawa wanita naik ke atas ranjang dan kehilangan daya sadarku untuk bercinta dengan mereka. Walau banyak dari wanita yang selama ini kukenal rela melakukan hal itu. Bagiku, aku tak mau menyesal melakukan hal itu dengan wanita yang tidak aku cintai, menjamah tubuh mereka tanpa perasaan. Seperti bercinta dengan wanita penghibur saja, meski aku tahu wanita-wanita yang kukenal tidak semua wanita baik-baik, namun satu prinsipku, aku hanya tak mau melangkahi batas yang aku sudah tetapkan sendiri. 

Aku pun tidak menampik kalau aku tidak pernah jatuh cinta pada seorang wanita, tapi sesungguhnya tidak ada cinta yang begitu dalam mengikat aku. Sampai aku bertemu gadis itu. Gadis yang menurutku mempesona dengan keberanian dan semangatnya. Gadis yang cerdas namun sederhana. Baru pertama kalinya dalam hidupku aku terpikat, aku merasakan arti cinta yang menggeliat dalam hatiku. Bukan hanya hatiku, pikiranku, jiwaku seakan terisi penuh olehnya. Sampai peristiwa itu memporak-porandakan impianku saat ingin bersamanya.

***

Jemima sedang duduk santai di sebuah café disebrang kantornya sambil membaca sebuah file. Dihadapannya ada secangkir teh dan kue muffin coklat yang dia sukai. Dia asik membaca hingga tidak menyadari sepasang mata mengamatinya dari kejauhan.

“Haii mima….waduhh jam istirahat ya istirahat donk…masih aja baca file kerjaan, rajin banget sih.” Sapa seorang temannya yang berjalan mendekat ke tempat dimana dia duduk.

Dia tersenyum, matanya mengarah kearah teman wanitanya itu.

“Ga kog, aku cuma lagi memeriksa ulang sebentar. Nanti kan ada rapat. Laporan harus udah beres, aku ga mau Pak Clinton jadi melotot lagi ke arahku. Pagi tadi entah ada badai apa dirumahnya sampai aku harus menerima kemarahan dia yang ga aku tau apa sebabnya.” Katanya sambil mengerucutkan mulutnya dengan kesal.

“Hahaha….rasain…ah biar aja, pak Clinton suka gitu deh, ga ujan ga badai ga cerah…kerjanya marah-marah aja, siapa sih yang ga pernah dapat semprotan merica dia. Rasanya asin-asin pedes gimana gitu.”

“Ha…ha emank kamu juga suka diomelin? Kan kamu sih pegawai favorit dia, Alice.”

Dia menatap jam tangan tipis wanita yang melingkar di tangan kanannya, setelah itu dia memakan muffinnya dan menyesap cangkir tehnya.

Setelah selasai melakukan hal itu, cepat dibereskannya kertas-kertas file yang sedikit berserakan yang ditaruhnya tadi diatas meja. Lalu segara bangkit bersama temannya dan kembali menyebrang dan memasuki Ramsay state building yang terletak tepat didepan café dimana dia tadi hanya memakan satu muffin dan minum secangkir teh sebagai makan siangnya.

***

Aku memperhatikan gerak-geriknya. Rambutnya yang tergerai sebahu bergerak ketika angin mengibarkan geraian rambutnya yang hitam legam. Langkahnya ringan seirama menapak jalanan kota yang sedikit basah akibat sisa hujan tadi pagi.

Jemima Anastasia, bekerja di Breakley Clinton Corporation sebagai staff ahli konstruksi. Tinggal di Elsemere street apartemen Suarez lt. 5 no 521. Setiap hari bekerja dari pukul 08.30-18.30. Berangkat ke kantornya mulai pukul 07.30 dengan berjalan kaki dan sampai kembali dirumahnya pukul 19.00 atau paling lambat 20.00 setiap harinya kecuali ada urusan mendadak dikantornya yang membuat dia bisa sampai pagi lagi baru kembali dari kantornya, hanya sekedar pulang berganti baju dan harus kembali ke kantornya melanjutkan pekerjaan dia. 
Dia punya kebiasaan berbelanja setiap hari selasa atau sabtu setiap minggunya di toko kelontong dekat apartemennya. Membeli beberapa keperluan dapur dan keperluan pribadinya. Setiap hari minggu pergi ke pasar lokal untuk berbelanja sayur. Dia jarang bepergian malam kecuali ada jamuan makan kantor atau acara-acara kantor lain yang mengharuskan dia pergi keluar saat malam hari. Kegiatan dia sehari-hari selain di apartemennya, hanya berbelanja bersama temannya Alice Van de Brough, seorang wanita berkebangsaan Belanda teman satu kantornya, memasak, berkebun atau pun traveling bersama beberapa teman pria dan wanita yang punya hobi sama dengannya.

Informasi lengkap yang baru saja aku terima dari John yang sampai mengantarkanku tiba dicafe ini dan mengamati gadis itu. Dia suka menghabiskan jam makan siang nya di café depan sebrang kantornya. Demikian tambahan informasi tentang gadis itu.

Sedari  tadi aku mengamatinya namun tak punya keberanian untuk mendekatinya, menyapanya dan berbicara seperti bertahun lalu kulakukan dengannya.

Aku memikirkan apa yang akan aku katakan padanya saat aku bertemu dengannya. Apa aku punya keberanian untuk mengatakan semuanya kepadanya dan terlebih lagi apa dia mau mendengar semua itu. 3 tahun aku pergi tanpa kabar lalu kalau sekarang aku hadir kembali dihadapannya apa dia siap menerimaku lagi. Dan 3 tahun ini aku berusaha melupakannya, mengubur perasaanku padanya, walau setiap malam bayangan wajahnya hadir dalam mimpi dan anganku.

Menatapnya tadi dari kejauhan menimbulkan desir indah dalam hatiku lagi. Dia makin dewasa, makin cantik, makin anggun. 3 tahun lalu ketika terakhir aku meninggalkannya, dia masih terlihat polos, khas anak kuliahan yang tidak terlihat menonjol, tak berdandan. Gayanya biasa saja, tak Nampak seperti gadis yang suka berdandan dan fashionable. Tetapi karena kepolosannya itu yang membuat aku terkagum-kagum padanya.

***

Flashback

“Maaf ya buku ini udah mau saya beli, kamu tolong cari buku lain saja.” Ujar seorang gadis yang tiba-tiba mengambil buku arsitektur dari tanganku dengan kasar.

“Eiitt itu aku yang lihat duluan ya, main serobot aja.” Kataku tak mau kalah.

“Aku perlu nih, ini buku langka bangeet, perlu untuk tugas akhir kuliah aku. Tolong donk ngalah.” Ujarnya tetap bertahan tak mau memberikan buku itu padaku lalu tergesa melangkah pergi kearah kasir.

“Ehh…ya ampun ni cewe…” kataku mengejarnya kearah kasir.

Dia meletakkan buku itu dikasir dan membuka dompetnya hendak membayar, tiba-tiba.

“Mba itu buku saya ya.” Ujarku sambil memberi uang pada kasirnya.

“Ehh…ga mba, itu punya saya.” Sambil menyingkirkan uang yang aku taruh di meja kasir dan hampir diambil oleh si kasir. Dia tergesa menyerahkan uangnya dan langsung diletakkan ditangan si kasir.

“Eehhh mba….jangan terima, itu buku saya, saya mau beli itu. Ni cewe tiba-tiba aja nyerobot sembarangan.” Ujarku menambahkan.

Si mba kasir terlihat bingung ingin menerima uang mana dan siapa yang berhak memiliki buku itu.

“Jadi punya siapa nih buku? Tolong jangan bikin bingung donk.”

“Saya.” Ujarku dan gadis itu bersamaan. Si mba hampir cemberut akibat keributan kami. Antrian dibelakang kami juga sudah mulai tidak sabar dan menegur kami.

“Aduh bayar dulu deh, ribut sana diluar…cepetan nih banyak yang antri.” Orang dibelakang kami sudah menegur kami.

“Sabar ya bu, ni cowo maen serobot aja buku yang saya perlu buat tugas kuliah.” Ujar gadis itu pada si ibu dibelakang kami.

Ehh ehh…pikirku gemas melihat gadis itu

“Udahlah mas, ngalah kek ama perempuan, masa ga malu sih ribut gara-gara rebutan buku. Kaya anak kecil. Lagian cewe ini kan butuh buat bikin tugas kuliahnya.” Ujar si ibu tadi.

“Jadi bagaimana? Sapa nih yang bayar?” kata si mba kasir akhirnya.

“Ya sudah deh kasi buat cewe ini.” Ujarku akhirnya mengakhiri pertikaian kami yang memalukan karena sudah berpasang-pasang mata melihat kearah kami.

“Makasih yaa.” Ujarnya sambil tersenyum dan mengerling kearahku.

Aku meninggalkan kasir dengan wajah sedikit malu dan kesal karena pertengkaran konyol dengan gadis yang bahkan aku tak kenal.


***


“Haii makasih ya, sori lo, bukan maksud aku mau tengkaran ama kamu tadi. Abis aku udah cari buku ini kemana-mana ga ketemu juga. Baru di toko buku tadi ada dan sisa cuma satu.” Tiba-tiba gadis yang tadi bertikai denganku di toko buku nongol dihadapanku lagi.

“Ya sudahlah.” Ujarku acuh. 

Aku sedikit gondok padanya karena sesungguhnya aku juga sangat menyukai buku itu. Buku itu memang sudah susah untuk dicari dan termasuk buku langka. Tapi karena pengarangnya adalah pengarang favoritku maka aku mati-matian ingin memilikinya. Aku sudah mencari diinternet secara online maupun ke toko-toko buku besar namun aku tak pernah menemukannya. Lalu tiba-tiba tanpa sengaja ditoko buku kecil itu, buku itu ada teronggok tersisa satu eksemplar saja. Hampir aku bersorak senang seperti menemukan harta benda sampai akhirnya gadis itu merampas dengan paksa buku itu dari tanganku.

“Marah ya?? Maaf deh, aku sungguh-sungguh butuh buku ini. Ehmmm atau gini deh, nanti kalau sudah aku pakai untuk bahan kuliahku, aku hubungi kamu dan aku kasi deh buku ini ke kamu. Karena sepertinya kamu kecewa sekali tak bisa memiliki buku ini. Apa penting banget ya buat kamu?” ujarnya panjang kepadaku.

“Ehh…boleh deh. Iya itu pengarang favoritku.” Kataku bersemangat akan tawarannya kepadaku.

“Kasi sini deh no telpon kamu, biar nanti kalau buku ini sudah ga aku butuhin, buat kamu deh.” Katanya akhirnya. 

Mungkin melihat binar kecewa aku tadi ditoko buku maka dia dengan baik hati memberikan buku itu setelah dia pakai untuk tugas kuliahnya.

Aku mencatat nomor ponselku di secarik kertas dan memberikannya kepadanya.

“Oke deh…Edward.” Ujarnya sambil melihat namaku yang tertulis dikertas itu. “Nanti kuhubungi ya, sabar ya. Oke bye dulu, aku ada perlu lainnya. Thanks ya sebelumnya.”

Lalu dengan langkah ringan dia meninggalkanku.

“Oh eh…ya thanks juga ya.” Ujarku takjub karena memikirkan buku itu. Hingga aku lupa bertanya tentang dia.

Yah…siapa namanya ya? Kenapa aku tak minta nomor penselnya juga. Apa dia akan menghubungi nanti? Aku memikirkan kebodohanku karena tak bertanya apapun tentang gadis itu. Ah biar deh, mau serius dia kasih atau tidak aku tak perduli. 

Tapi aku berharap dia akan memberikannya.


***


continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar