Kamis, 30 Oktober 2014

Jason

Mata mungilmu berkedip-kedip lucu
Kini kau sudah bisa tersenyum dan tertawa tanpa suara
Tangismu jadi bagian hari-hariku kini
Lucunya menatap pipimu yang montok
Melihat engkau menyusu dengan semangat dan selalu ingin menyusu
Hadirmu bawa kesembuhan bagi jiwaku
Walau kadang lelah, frustasi dan kadang sedikit stress
Tapi tanpamu sekarang duniaku jadi tak berwarna

Dede sayang...sehat selalu ya, cepat besar
Jadilah anak yang luar biasa, bahagia dan bisa membahagiakan orang-orang disekitarmu
Peluk sayangku untukmu selalu
Sampai besarpun kau tetap buah hatiku
Kebanggaan dan kebahagiaanku

Indah warna-warni dunia siap kau hadapi
Mungkin jalanmu akan berliku tajam
Mungkin undakan dan lubang akan menghalang jalanmu
Terlebih aku tak akan selalu bersamamu
Tapi jadilah tegar, kuat dan bersemangat
Seperti namamu....penyembuhmu adalah dirimu sendiri
Kebahagiaan adalah pilihanmu sendiri
Jadi tantangan apapun menghadang nanti
Aku percaya engkau mampu menghadapinya
Karena ada tangan besar bersamamu senantiasa

Love u always Jason 

@dewijc

Minggu, 26 Oktober 2014

Ketulusan Hati 3





Bimo mengendarai mobilnya hari ini menuju Jakarta. 

Baru hari ini dia menyelesaikan pekerjaannya dan saat minta ijin dia hanya diberi ijin 2 hari. Maka tak membuang-buang waktu dia langsung melaju menuju Jakarta.

Masih teringat percakapannya dengan Juni 2 hari lalu saat menyuruhnya datang ke Jakarta menjemputnya. Bimo masih merasa kuatir akan keadaan Juni karena mendadak sekali Juni ingin dijemput. Dikepalanya saat ini terbersit pikiran aneh tentang keinginan Juni itu. Namun tetap dikuatkannya hatinya untuk tetap berpikir positif. 

Selain itu dia harus berkonsentrasi penuh untuk perjalanannya kali ini. Tadi pagi dia sempat menelpon Juni mengabarkan kalau hari ini dia berangkat ke Jakarta. Tepat pukul 10 pagi dia mulai melaju melewati jalanan menuju Jakarta, berharap dan berdoa bisa tiba disana tanpa rintangan apapun dan tidak kemalaman. 

6 bulan tak bertemu Juni, dirasakannya rindunya yang teramat menyiksa hari-harinya. Namun kerinduan itu bisa ditahannya dengan dia bekerja dan mendengar suara Juni ditelpon yang tak pernah absen dia lakukan. Walau diakui setelah menutup telpon kerinduan itu makin meronta tapi kembali dia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan-pekerjaannya. 

Dia hanya berpikir namun tak pernah bertanya apa di Jakarta Juni sudah mempunyai kekasih atau belum. Dia bukannya tidak ingin bertanya, namun dia terlalu takut mendengar kalau disana gadis pujaannya itu ternyata memiliki seorang kekasih. Dia sudah cukup kecewa mendengar penolakan Juni saat dia menyatakan cintanya dulu. Tapi dia mungkin akan lebih dalam kecewa saat mendengar gadis itu dimiliki lelaki lain. Ada rasa cemburu didadanya dengan hanya memikirkan kemungkinan itu. Tapi toh suatu saat, entah kapan hal itu akan terjadi juga. Dan harusnya dia belajar menerima itu. Tapi entah mengapa dia malah membiarkan rasa itu terus tumbuh dan makin subur dihatinya. Rasa cinta, rindu, harap yang terus masih tertanam di pikiran dan perasaannya.

***

Juni cemas menantikan kehadiran sosok lelaki itu. Degup jantungnya bertalu-talu tak karuan. Keringat dingin terasa disekujur tubuhnya.

Entah mengapa tiba-tiba ada penyesalan timbul dihatinya karena menyuruh Bimo datang menjemputnya.

Dia tiba-tiba merasa takut.

Kriing..Kriing

Diambilnya ponselnya yang ditaruhnya diatas meja. Dari Maya.

"Halo..Napa May?" Sapanya lemah.

"Jun, napa? Apa ada yang sakit?" Tanya Maya cemas.

"Ga May, aku baik aja. Aku cuma ngerasa takut."

"Napa Jun, eh mas Bimo berangkat jam berapa?"

"Tadi jam 10 kata dia seh, mungkin saat ini lagi dalam perjalanan. Aku jadi takut May bertemu mas Bimo." Juni mulai terisak kecil.

"Napa Jun? Udah tenanglah, mas Bimo bukan laki-laki seperti itu."

"Tapi..." Juni mendesah panjang, "Dia kan ga tau keadaan aku yang sebenarnya saat ini May, aku takut dia..." Ucap Juni memberi jeda pada kata terakhirnya yang tak sanggup dia katakan.

"Takut dia kenapa Jun? Kecewa?"

"I..i..yaa..." Ucap Juni lemah terbata. 

"Udah Jun, jangan kuatir dulu ya, kita lihat nanti deh saat dia datang. Kalau dia datang kabari aku ya Jun." Ujar Maya menguatkan perasaan Juni.

"Iya. Makasih May. Aku ga tau kalo ga ada kamu." Ucap Juni sebelum mengakhiri percakapan telponnya dengan Maya.

Akhirnya dalam keheningan, Juni berpikir apapun yang akan terjadi dia harus menerimanya. Bimo mungkin bukan laki-laki yang akan bersikap kekanakan menghadapi hal seperti ini. Tapi apa yang harus dia harapkan. Toh Bimo bukan siapa-siapa dia. Waktu dia masih suci pun dia bukan kekasihnya, terlebih lagi saat ini. Mungkin Bimo akan geram mendengar hal ini menimpa Juni, tapi apa yang harus dia lakukan? Juni toh tak tau harus menuntut pada siapa? Dia juga tak tau siapa yang harus bertanggung jawab pada apa yang sudah dialaminya.

Airmata meleleh kembali dipipinya yang halus. Entah berapa lama lagi dia harus terus menangis seperti ini.

***

Bimo tiba di Jakarta tepat saat lampu-lampu kota Jakarta mulai dinyalakan, langit yang menghitam. Bulan tampak menyembul malu-malu, walau tak banyak bintang tapi cuaca sangat cerah dan hawa panas mulai terasa diwajahnya saat dia memarkir mobilnya dan mulai berjalan kearah bangunan yang merupakan kost Juni.

Dadanya berdegup kencang. Entah mengapa dia begitu gugup saat ini. Dia merasa istimewa sekaligus berpendar harap karena tak mengira Juni ingin dijemput olehnya, walau dia belum tau alasan apa yang menyebabkan Juni meminta dia menjemputnya. Namun hal itu akan diketahuinya sebentar lagi.

***

Tok...tok...tok

Pintu terdengar diketuk. Juni merasa berdebar. Dia tau bahwa yang mengetuk itu Bimo.

"Aku udah didepan kostmu Jun, kamarmu nomor 6 kan?" Kata Bimo ditelpon tadi kepada Juni.

Dan saat ini Juni tau itu pasti Bimo. Dia menguatkan hatinya agar tak langsung menangis saat melihat Bimo.

Tok...tok...tok
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya.


"Iya sebentar," ujar Juni sedikit bergegas kearah pintu.

Dibukanya pintu, dan dilihatnya laki-laki itu berdiri menjulang dihadapannya. Dia masih tampan, matanya yang teduh dan senyumnya yang indah telah ada dibibirnya yang juga indah saat melihat Juni membuka pintu.

"Mas Bimo," ujar Juni seakan kaget, walau sebenarnya itu tak perlu. "Masuk mas." 

Dadanya masih berdebar, digigitnya bibir bawahnya menahan aliran air dimatanya yang hampir meleleh. Dia tak mau menyambut Bimo dengan airmata saat ini, karena dia tau Bimo lelah dan dia tak sanggup membebani laki-laki itu dengan kesedihannya yang menyakitkan.

"Makasih. Permisi, aku masuk yaa..." Ucap Bimo tetap tersenyum. 

"Udah makan mas?" Tanya Juni, mencairkan suasana kaku yang tercipta dan terasa mungkin hanya olehnya. "Mas pasti cape, bentar ya aku ke dapur ambil minum dulu buat mas." 

Tanpa menunggu jawaban, Juni berlalu keluar ke dapur untuk mengambilkan Bimo minum.

Bimo duduk dilantai yang dilapisi karpet merah. Kamar itu hanya berukuran 3x4m, ada 2 kasur single disudut2 ruang kamar.
Sebuah meja kecil dan kursi belajar serta lemari pakaian 2 pintu.

Ketulusan Hati 2



6 Bulan kemudian setelah kepulangan Juni ke kota kelahirannya




Kriing...Kriing...

Bimo menatap layar ponselnya, Juni. Senyum tiba-tiba merekah dibibir Bimo.

"Halo...Jun."


"Mas Bimo." Suara Juni lirih dengan isak tertahan diponsel Bimo.

"Ya Jun...kamu kenapa?" Bimo kaget mendengar ada nada tangis dalam suara Juni.

"Mas...mas bisa datang ke Jakarta ga jemput Juni?...Juni takut mas. Tolong mas...hikss hikss." Isak Juni kian lama kian mengeras.

Isak itu mengoyak hati Bimo. Perasaan Bimo campur aduk. Konsentrasinya pada pekerjaan dihadapannya saat itu buyar. Dipikirannya hanya ada Juni.

"Heehhh?? Kamu napa Jun? Jangan bikin mas kuatir...ada apa? Kog tiba-tiba pengen dijemput? Mau balik sini? Napa Jun?" Tanya Bimo penasaran dan kuatir yang makin bertumpuk. Terlebih hanya isakan yang dia dengar saat jeda setelah dia berbicara.

"Juni...napa Jun?"

Namun hanya hening tanpa kata. Hanya terdengar isak halus tertahan diponsel Bimo. Isak milik Juni. Yang makin membuat Bimo tak karuan perasaan dan pikirannya.

"Iyaa iya Jun. Mas jemput Juni yaa...tapi mas kudu urus kerjaan dulu, mungkin besok apa lusa mas jemput kamu yaa...ndak apa-apa tho?"

Masih hanya isak tangis yang terdengar diujung telpon.

"Jun...." Ucap Bimo lembut.

"I..I..I yaa mas..." Jawab Juni akhirnya terbata. "Makasih ya mas." Lanjutnya lirih. Juni menarik nafas berat dan mendesah lelah. Masih terdengar sisa-sisa isak tangisnya.

"Udah jangan nangis ya, mas jadi kuatir Jun."

"Iya mas, maaf buat mas kuatir. Aku tunggu mas ya. Makasih ya mas."

Juni menutup telpon diujung sana. 

Bimo tak mengerti, bahkan belum sempat berpikir mengapa Juni menangis seperti itu. Hati Bimo gelisah, tak pernah Juni begitu. 

Beberapa hari lalu dia masih sempat bertelpon dengannya dan suaranya masih seceria biasanya. Semua baik-baik saja, tapi telponnya kali ini membuat Bimo merasa takut dan kuatir.

Ada apa Jun?....

Bimo meyakinkan dirinya bahwa Juni tak apa-apa, baik saja. Tapi dari nada suara dan tangisnya Bimo merasa Juni sedang dalam keadaan tak baik. Tapi dia berusaha keras menepis kemungkinan terburuk itu dari benaknya. Serta mereverse dirinya bahwa Juni sedang baik-baik saja.

Segera dia membereskan pekerjaannya yang sempat ditinggal saat tadi bertelpon dengan Juni. Walau harus dengan konsentrasi terpecah karena separuh pikirannya ada pada Juni. Bimo harus menyelesaikan dulu pekerjaan dia sebelum bisa meminta ijin untuk menjemput Juni di Jakarta.


***


Gadis itu merasa kotor, sudah berulang kali dia mandi tapi tak pernah lagi dia merasa bersih.

Dia menangis tersedu, entah menangis untuk yang keberapa kalinya hari ini.

Terbayang lagi peristiwa 3 hari lalu. Peristiwa yang mungkin akan terus menghantuinya sampai kapanpun juga, seumur hidupnya.

Membayangkan dirinya tak lagi suci, penuh noda. Dia merasa impian dan harapannya hancur. Dunianya hancur. Merasa kotor dan hina.

Ingin rasanya dia mengakhiri hidupnya yang sudah nista itu. Tapi saat mengingat emak dan Alina, adiknya, dia tak tega melakukan itu.

Terlebih saat dia mengingat Bimo. Walau enggan di akui, dalam hatinya yang terdalam, saat sedih dan senang dia mengingat lelaki ganteng dan baik itu.

Mengingat laki-laki pertama yang menyatakan rasa cintanya kepadanya dan berakhir dengan tolakannya.

Hatinya saat itu ikut hancur melihat kecewa dimata indah lelaki itu saat mendengar kata-kata penolakannya. Tapi saat itu dia tak mengerti mau menjawab apa. Dia tak mengerti caranya mengganti perasaan sayangnya kepada Bimo sebagai kakak menjadi rasa sayang seorang wanita kepada laki-laki.


Sedari kecil, Juni tak pernah membayangkan Bimo bisa mencintainya dengan cinta seperti itu. Dalam benaknya, dia hanya mengira Bimo akan mencintai dia sebagai adiknya. Walau diakui dari kecil Bimolah sosok laki-laki idolanya selain bapaknya yang begitu mencintai dan menyayangi emaknya.

Sedari kecil juga, Juni hanya berpikir betapa bahagia dengan hanya memiliki Bimo sebagai kakaknya, yang melindungi, menyayangi dia.

Maka saat Bimo menyatakan perasaannya, hati Juni gundah, dia bingung. Terlebih lagi, dia tak punya pengalaman dicintai laki-laki dengan cinta seperti itu, yang ingin menjadikan dia pacarnya, kekasihnya, gadisnya atau apalah namanya. Dia berpikir, benarkah perasaan Bimo itu? Atau hanya perasaan yang timbul karena sering bersamanya sedari kecil. Hingga dia merasa ragu dan tak tahu berbuat apa.




Seringkali dia berusaha bertanya lebih jauh lagi perasaannya. Tapi semua jadi kabur antara perasaan sayang nya pada kakak apa rasa sayang wanita pada seorang laki-laki.

Selain itu, sejak peristiwa itu, Bimo tak pernah lagi mengungkit-ungkit masalah perasaannya dan bertanya pada Juni lagi atau mau menunggunya memastikan perasaannya yang sesungguhnya.

Namun saat awal kelas 3 SMU, ada teman sekelasnya menyatakan perasaan cintanya padanya dan mereka sempat berpacaran. 

Anehnya, dia selalu membanding-bandingkan laki-laki itu dengan Bimo. Dia jadi merasa laki-laki itu tak sebaik, tak selembut dan tak sepintar Bimo. Dia jadi melihat banyak kekurangan pada laki-laki itu. Sebenarnya tak adil bagi laki-laki itu karena dia pun memiliki kelebihan sendiri yang berbeda dengan Bimo. Tapi anehnya, itulah yang dia rasakan pada dirinya. 

Akhirnya hubungan yang baru dimulai itupun hancur berantakan.

Sejak Bimo menyatakan perasaan cintanya, Juni sempat merasa jengah berdekatan dan terlalu akrab dengan Bimo, mungkin karena dia tahu perasaan Bimo yang beda padanya. 

Walau sebenarnya Bimo tetap bersikap sama seperti sebelum pernyataan cinta itu dan penolakan itu ada. Namun tidak bagi Juni, semua tak lagi sama, makanya dia mulai sedikit menutup diri, sedikit pendiam saat bersama Bimo.

Terlebih lagi ketika bapak meninggal, dia jadi punya alasan untuk merasa bahwa tanggung jawab beralih ke pundaknya sebagai anak tertua untuk mencari nafkah, karena jika semua diserahkan pada emaknya, dia merasa tak tega, demikian juga adiknya, tak mungkin dibebani tanggung jawab sebesar itu. 

Itu juga jadi salah satu alasan agar dia dapat sedikit menghindar dari Bimo, dengan sibuk membantu emak atau bekerja mengajar les anak-anak. Selain itu juga, Bimo yang sibuk kerja memudahkan Juni untuk tidak terlalu sering bertemu Bimo.

Dan keinginan gila lainnya yang sebenarnya adalah alasan lain untuk menghindari laki-laki itu adalah pergi ke Jakarta dengan alasan bekerja.

Padahal mati-matian lelaki itu melarangnya, membeberkan alasan-alasan kenapa dia keberatan saat Juni berkeras ke Jakarta, namun akhirnya pasrah karena kekeras kepalaannya mengalahkan semua hal yang sudah dibeberkan Bimo padanya. 

Bahkan, dia tidak berpamitan langsung pada Bimo saat pergi meninggalkan kotanya. Tidak mengontak sama sekali lelaki itu dan tidak berusaha berbicara padanya meskipun dia mengontak ibu Bimo atau emaknya. 

Juni hanya berpikir, mungkin itu satu-satunya cara agar Bimo bisa memupus cinta nya pada Juni. Dia tak mau lagi membuat laki-laki itu kecewa dan sedih.

Tapi hal itu ternyata salah, karena saat terakhir bertemu 6 bulan lalu, masih dilihatnya dimata lelaki itu pendar rasa sayang dan cintanya pada Juni. Bukan sekedar cinta seorang kakak pada adiknya yang baru pergi jauh dan baru bisa bertemu lagi. Tapi pendar cinta yang mengandung luka dan kecewa karena merasa diabaikan olehnya, dimata lelaki itu.

Saat diatas bis pun demikian, dia tak mengira guyonannya membuat Bimo harus mengulang pernyataan bahwa ternyata dia masih mengharapkan Juni. 

Juni jadi makin terbelit akan rasa itu. Namun entah kekuatan apa yang membuat dia memutuskan akhirnya membiarkan rasa itu berkembang sendiri, merasakan nikmatnya diperhatikan dan dicintai oleh Bimo.

Dalam 6 bulan sejak kepulangan dari kotanya, tak pernah sekalipun Bimo lalai mengontaknya, memperhatikannya, menghiburnya. 

Hanya sekedar ngobrol, apa saja, bahkan menelpon hanya sekedar mendengar suara dan tawa Juni. Juni juga membiarkan perasaannya pada Bimo berkembang sendiri. 

Dia memang ingin memberi Bimo harapan, ingin berusaha bisa juga mencintai Bimo bukan hanya sebagai kakak tapi sebagai wanita yang kini beranjak makin dewasa kepada seorang laki-laki. 

Mengharap bisa merajut mimpi-mimpinya bersama Bimo, menjadi kekasihnya, bukan lagi adiknya, karena dia sadar masih ada pendar harapan, rindu dan cinta laki-laki itu padanya.

Andai saja peristiwa malam itu tak ada...

***

"Aku antar pulang ya Jun." Ajak Randy padanya.

"Ga usah mas Randy, saya biasa pulang sendiri." Tolak Juni halus.

"Tapi dah kemaleman Jun, bahaya juga buat cewe sendirian malam-malam pulang."

"Ga papa mas, kost saya kan dekat juga, naik angkot sekali juga dah nyampe, lagian mas kan rumahnya berlawanan arah dengan saya." Ujar Juni lagi.

"Ya udah kalo ga mau, hati-hati ya. Nti klo dah sampe telpon mas ya. Kuatir juga temen kerja mas malem-malem gini pulang sendiri." Ujar Randy pada akhirnya menyerah karena penolakan Juni yang tetap tidak mau diantarnya pulang.

"Iya mas, udah jangan kuatir. Saya kan wanita pemberani mas. Siapa juga takut ma saya dan ga berani macem-macem." Ujar Juni masih bisa bercanda.

"Iya, kamu tuh mandiri banget Jun, salut dah." Randy tersenyum mendengar perkataan Juni.

Mereka berdua pulang ke arah berlawanan. Juni naik angkot kearah barat dan Randy pulang dengan mengendarai motornya ke arah timur. Tak ada firasat, tak ada pertanda apapun.


***


Randy belum masuk kedalam rumah saat ponsel miliknya berbunyi.

"Halo..."

"Mas Randy, tadi Juni lembur bareng mas kan? Tadi aku telpon Sukma yang lembur juga tapi dia bilang udah pulang duluan. Terakhir mas Randy ama Juni." Suara Maya teman Juni dan teman kerja 1 tokonya.

"Iya May, Juni tadi pulang akhir bareng aku. Dia pulang naik angkot. Tadi aku mau anter tapi dia ga mau. Jadi ya udah. Memang kenapa May? Juni belum sampe?" Tanya Randy.

"Kira-kira jam berapa kalian pulang mas?" Lanjut Maya, suaranya terdengar sangat cemas.

"Ehhhmm, jam 9 an lebih dikit kayanya kita keluar tadi. Bentar...." Randy tadi sempat melihat jam tangannya saat keluar gedung bersama Juni. Dan sekarang dia melihat ulang jam tangannya, pukul 22.50. Karena tadi dia sempat mampir makan di sebuah resto, dia baru sampai rumah saat ini.

"Kog sampe sekarang Juni belum datang ya mas?" Lanjut Maya.

"Haa? Udah hampir 2 jam lo May."

"Iya itu mas, Maya kuatir. Biasa jarak sini ama toko kan cuma 30 menitan, masa ini 2 jam belum sampe-sampe. Mas bisa bantu Maya cari Juni ga? Tolong mas." Isak tangis Maya mulai terdengar saat dia memohon agar Randy mau menolongnya mencari Juni.

"Memang ditelpon ga diangkat May? Tenang dulu May. Jangan nangis." Randy berusaha menenangkan Maya yang mulai terisak-isak tak karuan.

"Udah mas, tapi kayanya ponselnya disilent atau ga tau mas kenapa. Tolong ya mas kesini sekarang." Pinta Maya pada Randy.

"Oke...aku kesana sekarang, tunggu ya May..."

Randy bergegas menyalakan motornya lagi dan melaju menuju kost Maya dan Juni. Hatinya turut cemas. Andai tadi dipaksanya Juni untuk mau diantar tentu hal ini tak akan terjadi. Tapi ditepisnya kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada Juni. Sambil terus berdoa sepanjang jalan bahwa Juni baik-baik saja.


***



Malam mulai merambat naik sampai menjelang tengah malam.




Maya dan Randy berkeliling menyelusuri jalan-jalan yang dilalui Juni dari toko ke tempat kost. Mereka melihat ke kanan kiri, berharap Juni tiba-tiba muncul. Bahkan bertanya pada beberapa supir angkot yang kira-kira dinaiki Juni untuk pulang kekostnya. Namun hasilnya nihil.

Menjelang pukul 2 dini hari mereka kelelahan dan akhirnya dengan berat hati memutuskan menghentikan pencarian dan kembali ke kost Maya sambil terus berharap juga Juni udah kembali kesana.

Tiba-tiba ponsel Maya berbunyi. Maya buru-buru mengangkat ponselnya dan berharap itu Juni.

"Halo..."

"Halo ni Maya bukan?" Tanya seorang laki-laki dari ponselnya.

"Iya...ini sapa ya?" Tanya Maya bingung karena tak merasa mengenal suara laki-laki di ponsel itu.

"Gue Bayu, tadi gue ama temen-temen gue anter 1 orang cewe ke rumah sakit. Gue pikir sepertinya temen elu."

Maya merasa dadanya berdebar keras dan jantungnya secara mau copot. Dia memikirkan Juni. Apa ini tentang Juni. Ada apa dengannya. Dengan tergesa dia menjawab.

"Yaa yaa...temen saya sapa ya?"

"Temen lu tadi terkapar dipinggir jalan. Pas gue ma temen-temen lewat abis pulang jalan-jalan. Keadaannya mengenaskan. Sepertinya dia abis "dikerjain" orang. Gue tau nomor elu dari ponsel dia karena banyak misscall elu di ponsel dia, gue pikir pasti elu lagi nyari dia." Laki-laki itu terus berbicara sambil menerangkan. Maya sedikit kehilangan kesadaran. Dia berkata dalam hatinya, ini tentang Juni...Ya Tuhan apa yang terjadi padanya.

"Lu sekarang cepet ke Rumah sakit deh, gue tungguin ya." Lanjut laki-laki itu yang Maya lupa sudah namanya. Dalam pikiran Maya hanya ada bayang Juni.

"Iyaa iyaa saya kesana sekarang."

Randy yang sedari tadi diam mendengar percakapan itu segera bertanya pada Maya saat Maya menutup telponnya.

"Napa May? Juni dimana?" Tanyanya penasaran.

"Ayo mas kita ke rumah sakit sekarang. Dan jangan nanya-nanya dulu." Ujar Maya masih sangat shock setelah menerima telpon tadi.

Randy bergegas melajukan motornya dipagi buta itu menuju ke rumah sakit yang dipinta Maya.


***


"Kamar 403." Ujar recepsionis saat Maya bertanya dimana wanita bernama Junita berada.

Bisik-bisik antara penjaga rumah sakit terdengar sekilas ditelinga Maya.

"Kasian ya cewe itu...wajahnya cantik. Tapi ya ampun ngenes banget liatnya."

Maya menepis pikiran buruk dari kepalanya mendengar bisik-bisik itu. Tanpa sadar digenggamnya erat tangan Randy seakan butuh kekuatan agar dirinya mampu bertahan dan tak ambruk saat itu juga.

Didepan kamar yang dituju ada 2 orang laki-laki menunggu. Sepertinya salah satunya yang tadi menelponnya.

"Maya?" Tanya seorang laki-laki mungkin berumur sekitar 20 tahunan. Wajahnya tampan menggunakan kacamata. Maya tak sempat lagi menilai orang itu karena pikirannya sedang kacau.

"Yaa...saya Maya." Ucap Maya terbata sambil menerima jabat tangan dari laki-laki itu.

"Bayu." Katanya memperkenalkan diri. Temannya disampingnya hanya diam dan tersenyum kecil. Lalu laki-laki bernama Bayu itu melihat Randy dan juga mengulurkan tangannya pada Randy.

"Randy." Ujar Randy pada Bayu.

"Teman lu ada didalam, tadi dokter udah periksa dia. Ada kekerasan terjadi pada dia."

Lalu Bayu menceritakan kronologis kejadian saat dia menemukan Juni ditepi jalan yang dia lewati bersama teman-temannya. Tadi mereka berlima, 3 cowo dan 2 cewe tapi 1 cowo sudah pulang dulu mengantar 2 cewe temannya yang lain.

Maya terbelalak ngeri mendengar cerita Bayu. Tak kuasa airmatanya mengalir makin lama makin deras. Tubuhnya terasa remuk redam seperti dipukul oleh palu godam

Ya Tuhan...hanya itu yang bisa diucapnya dalam hati karena tak sanggup berkata apa-apa mendengar cerita itu.

"Tadi dia sempat sadar dan menangis histeris. Dia terlihat sangat ketakutan. Tapi sekarang udah dikasi penenang ama dokter dan udah tidur. Badannya juga udah dibersihin ama suster. Besok hasil visumnya baru bisa diterima." Cerita Bayu lagi.

Maya hanya membeku. Randy merangkulnya memberi kekuatan. 

Ada sesal dalam diri Randy. Andai malam itu dia memaksa Juni untuk diantar mungkin hal ini ga akan terjadi. Dia merutuk dalam hati kenapa malam itu tak dipaksanya Juni untuk pulang bersamanya. Tapi saat ini mungkin sudah terlambat untuk menyesali hal itu.


***


Bayu dan temannya akhirnya pamit pulang. Dia bilang sudah mengurus administrasi awal saat Juni dibawa olehnya dan teman-temannya. Tapi dia berkata pada Maya kalau memerlukan bantuannya bisa menelpon dia.

"Terima kasih banyak ya Bayu. Saya berterimakasih sekali sama kamu yang udah baik banget mau menolong teman saya." Ujar Maya setelah agak tenang.

"Sama-sama, jangan sungkan. Kalau ada yang bisa gue bantu napa ga." Ujar Bayu tulus.

Maya berpikir orang seperti Bayu udah langka didunia ini. Bahkan dikota ini sepertinya jarang banget bisa nemu orang kaya dia, nolong orang yang ga dia kenal sama sekali yang mungkin bisa beresiko merugikan dia. Tapi Maya sangat bersyukur masih ada orang seperti Bayu sehingga bisa menolong Juni dan menyelamatkan nyawa Juni.

"Makasih juga buat teman-teman kamu ya Bayu. Sampaikan rasa terimakasih kami." Ujar Randy menambahkan.

"Iya gue akan sampaikan."

Lalu Bayu dan 1 temannya yang bahkan Maya tak tahu namanya meninggalkan Maya dan Randy dalam keheningan rumah sakit.


***


Maya dan Randy memasuki kamar yang berpenerangan minim itu. Mereka melihat Juni sedang tertidur pulas. Wajahnya pucat. Mungkin terlalu lama tergeletak kedinginan malam itu sebelum ditemukan oleh Bayu dan teman-temannya.

Tak kuasa Maya terisak tanpa suara. Randy memeluknya tanpa prasangka, hanya sekedar ingin berbagi sedih melihat keadaan Juni yang seperti itu.

Dalam hati mereka berdua sama-sama merasa ada sesal dan tanya kenapa Juni harus mengalami hal ini.

"Mas Randy pulang deh, Maya ga papa disini nunggu Juni." Ujar Maya pada Randy saat keadaan keduanya tenang setelah tergoncang sama-sama tadi.

"Mas...tolong jangan bilang temen-temen toko dulu yaa. Bilang ama pak Rudy aja dulu tentang hal ini. Dan katakan pada teman-teman kalau Juni sakit ama saya juga ijin mau jagain Juni. Gitu aja ya mas?" Maya berkata sambil mereka alasan yang tepat untuk menggambarkan keadaan Juni saat ini.

"Iya May, nti mas atur deh. Kamu tenang ya. Kalo ada apa-apa kontak mas. Mas balik dulu ya."

"Iya mas, ati-ati ya."

Randy keluar dari kamar dan meninggalkan rumah sakit.


***


"Aaaahhhh.....aaahhhhhh….." Teriak Juni histeris. Maya tergopoh bangun saat mendengar teriakan itu.

Juni menangis keras, suaranya memilukan hati. 

Maya merengkuh gadis dihadapannya turut menangis bersama. Walau kepedihan itu tak bisa sama dirasakan olehnya tapi dia setidaknya turut berduka atas semua yang telah dialami sahabatnya itu.

Tragis...pikirnya...tak dinyana, tanpa firasat tanpa pertanda sebelumnya, kejadian yang tak pernah siapapun bayangkan atau inginkan,terjadi pada sahabatnya itu.

Apa salahnya ya Tuhan? Hanya itu rintihnya dalam hati melihat betapa ringkih dan rapuhnya wajah gadis dihadapannya itu kini.

Mata indahnya terus berurai airmata kesedihan yang dalam. Seakan dia merasa dunianya hancur. 

Maya tak berdaya melihat kesedihan itu. Dia tak tahu harus melakukan dan berkata apa. Hanya mampu memeluknya dan menangis bersama-sama. 

Kalau dengan menangis bisa menghilangkan ingatan atau kejadian malam itu, mungkin mereka akan terus menangis sampai semuanya bersih lagi. Tapi semua tak lagi sama. 

Maya tahu hidup Juni tak akan lagi sama.

Hati Maya seakan ditusuk ribuan jarum saat itu. Ingin rasanya dia mengangkat beban Juni saat itu andai dia bisa.

Kedua gadis itu hanya saling berpelukan, menangis bersama-sama dan bertanya dalam hati.


‘Ya Tuhan napa Kau lakukan ini padaku?’ Jerit Juni dalam hati.

‘Ya Tuhan napa Kau lakukan ini padanya?’ Jerit Maya dalam hati.

Tapi tak ada jawab. Hanya ada tangis yang menggema yang terpantul keseluruh ruangan itu dari tangis keduanya.






***

Ketulusan Hati 1




Gadis itu turun dari bus antar kota yang mengantarkannya pulang kembali kekota kelahirannya setelah 1 tahun dia tinggalkan tanpa pernah menjejaknya. 

Dia menghirup udara kotanya yang masih segar tanpa terlalu banyak polusi. Betapa rindunya dia pada kota ini. Tak banyak yang berubah dari kota ini sejak terakhir dia tinggalkan 1 tahun yang lalu. 


Dia memandang kanan kiri jalanan yang dilewatinya. Masih banyak persawahan yang terhampar disepanjang jalan yang dia lewati menuju rumahnya. Dia menerawang jauh, membayangkan sosok wanita dan seorang gadis kecil yang dirindukannya. Wanita yang melahirkannya yang dia tinggal setahun lalu. Masih teringat saat wanita itu mengantarnya ke terminal bus yang membawa dia ke Jakarta. Airmata berlinangan dari kedua mata indahnya. 



Apa kabarmu mak? tanyanya dalam hati. Menarik nafas sedikit lelah. Apa emak sehat selalu?


Banyak pertanyaan-pertanyaan melintas dibenaknya yang siap dimuntahkan lewat mulutnya pada emaknya. Merantau 1 tahun dikota Jakarta membuat dia tak punya waktu untuk pulang ke kampungnya. Ini pun majikannya mengijinkan dia pulang hanya 4 hari dan mewanti-wanti agar dia cepat kembali lagi.

Pekerjaannya yang padat membuat dia harus menekan kerinduannya pada kampung halamannya. Dia tahu bekerja dikota Jakarta begitu keras, tapi demi impiannya dia rela melakukan semua itu, setidaknya dalam pemikirannya hidupnya akan lebih baik jika dia bisa bekerja dikota besar karena penghasilan pasti akan jauh lebih besar dibanding dia bekerja dikotanya ini.


***


"Emak!!...emak aku kangeen!!" Teriak gadis itu pada seorang wanita setengah baya yang dia panggil emak. Sambil berlari menenteng tasnya kearah wanita itu.

"Sapa ya?" Ujar wanita itu melihat kearah gadis yang memanggilnya emak. "Walah anakku  Juni, cah ayuku." Kata wanita itu tak kalah kerasnya.

Mereka berpelukan erat. Setelah 1 tahun tak bertemu, gadis itu merasakan rindu yang membuncah didadanya pada emaknya alias ibunya. Tak terasa airmata mengalir dipipinya yang halus nan bersih. Gadis yang ayu, seayu wajah emaknya. Wajah yang seakan cermin itu, emak dan anak, hanya berbeda usia saja.

Keduanya lantas saling berangkulan masuk ke rumah. Berbagi cerita berdua. Melepas rindu karena 1 tahun berpisah.

"Bagaimana emak? Sehat aja tho?"

"Iya nduk...emak sehat-sehat kog."

"Si Alin kemana mak? Kog hampir sore begini belum pulang?" Tanya gadis itu pada emaknya. Alin adalah nama adik perempuannya yang kini sudah duduk dibangku SMP kelas 1. 


***


Nama gadis itu Junita, biasa dipanggil Juni karena lahir dibulan Juni, maka emak dan almarhum bapaknya menamai dia Junita. Bukan tanpa arti tapi hanya itu yang terlintas dibenak bapaknya saat menatap pertama kali wajah mungil nan ayu yang dimilikinya. Tahun ini genap 18 tahun usianya. Masih muda, selepas SMA, dia memberanikan diri merantau ke Jakarta mengadu nasib bertaruh dengan kerasnya hidup diJakarta.

Sejak bapaknya meninggal, secara naluri dia bergerak menopang keuangan keluarganya. Namun penghasilan dikota kecil tidaklah cukup besar buat lulusan SMU seperti dirinya. Beruntung ada temannya di Jakarta mengajaknya bekerja disebuah pusat perbelanjaan di sana sebagai seorang pelayan toko. Dan hasilnya lumayan untuk bisa menghidupi dia dan mengirim uang buat emak dan adiknya yang masih bersekolah dibangku SMP itu.


***


Pemuda itu menatap gadis itu tertegun. 1 tahun tak pernah dilihatnya gadis itu. Sekarang dia pulang. Bimo nama pemuda itu, dia mencintai gadis itu, namun apa daya, tak ada cinta gadis itu baginya. Dulu sebelum dia lulus dari sekolah pun, pernah dia ungkapkan perasaannya pada si gadis, namun jawaban gadis itu hanya

"Mas maaf ya, Juni cuma anggap mas Bimo kakak  saja, ga bisa jadi pacar mas Bimo. Ga papa ya mas?" 

Ucapan yang mengecewakan baginya namun harus dia terima dengan lapang dada. 

Cinta itu dia tau bukan cinta monyet, bukan pula cinta kakak pada adik, tapi cinta seorang lelaki pada wanita layaknya cinta dewasa, meski sang gadis saat itu masih sangat muda. 

"Mas Bimo, apa kabare mas?" Tanya si gadis sambil tersenyum cerah melihat Bimo.

"Baik...Juni apa kabare?" Tanya si pemuda sambil menenangkan degup jantungnya yang berdebar halus saat kembali menatap wajah dan senyuman sang gadis yang 1 tahun ini masih terus dirindukannya.

"Apik mas...dah lama ya ga ketemu ama mas...masih kerja di pabrik gula mas? Weeh aku kangen ama mas lo..." Ucap si gadis gamblang dan polos pada si pemuda.

Bimo merasa senang, hatinya ikut tersenyum seperti bibirnya yang trus saja tersenyum ketika dia mendengar si gadis mengangeni nya.

"Iya Jun, masih. Mas masih jadi pemuda kampung aja...ga kaya kamu wes jadi gadis kota. Kamu tambah ayu." Ucap bimo tanpa ragu memuji keayuan si gadis.

"Haalaah mas bisa wae muji aku...paling bisa deh. Ga lah mas kan aku di Jakarta kerja, ga ikutan jadi gadis2 metropolitan, cuma pelayan toko." Ujarnya sembari terkikik.

Gemas si Bimo menatapnya. Ingin mencubit pipi si gadis seperti dulu sering dia lakukan dan membuat si gadis manyun dan ngambek. Tapi dengan gampangnya cepat kembali tertawa saat dia menceritakan lelucon2 basi andalannya. 


***


Bimo teringat kenangan bersama gadis polos nan ayu itu. Terbayang kembali dipelupuk matanya masa kecil mereka berdua. Bimo melihatnya tumbuh dewasa. Mereka sudah berteman sejak si gadis masih sangat kecil, saat dia berumur 8 tahun dan pindah ke kota ini karena bapaknya dipindah tugas dikota ini. Tinggal di pemukiman yang sama dengan si gadis. Gadis mungil itu baru berumur 1 tahun. Lucunya, lincahnya. Ngomongnya cadel menggemaskan dan tawa serta teriakannya sangat keras. Kadang memekakkan telinga.

"Sapa namanya cah ayu??" Tanya Bimo saat pertama melihat gadis itu berjalan tertatih dengan kaki mungilnya. Sepertinya dia baru belajar berjalan karena terlihat belum begitu mahir melangkah. 

"Unii...Unii.." Ucapnya dengan mulut monyong-monyong lucu. Tubuhnya bergoyang-goyang kekanan dan kekiri demikian kuncir kudanya.

Bimo saat itu sudah duduk dibangku kelas 3 SD dan Juni masih berjalan tertatih-tatih karena baru bisa jalan namun sudah mulai berbicara agak lancar.

"Juni mas..." Ucap halus seorang wanita, mungkin ibunya pikir Bimo saat itu, karena mereka berdua begitu mirip. Paras ibunya seayu anaknya yang masih mungil itu.

"Mas e sapa? Baru ya tinggal disini? Soale ibu ga pernah liat sebelumnya." Ucap wanita itu lagi yang telah kuketahui memang ibu si Juni.

"Saya Bimo bu, iya baru beberapa hari ini bu tinggal dirumah itu." Ujarku menunjuk sebuah rumah tak jauh dari rumah Juni dan ibunya.


***


Dari pertemuan pertama itulah keluarga Juni dan Bimo akhirnya akrab. Bapak dan ibu Juni menyayangi Bimo seperti anak mereka demikian juga orangtua Bimo terhadap Juni. Terlebih ketika berumur 5 tahun ibu Juni melahirkan adik Juni, Alina. Juni sering diajak main kerumah Bimo, karena ibu Juni sibuk mengurus adiknya sedang bapaknya harus bekerja. Kadang bisa seharian Juni di rumah Bimo, bermain bersama Bimo yang memang anak tunggal. Bimo senang bermain bersama Juni, karena Juni ga cengeng, lincah dan bandel seperti laki-laki. 

Pernah suatu kali ada anak laki-laki sebayanya menggodanya. Dengan berani dia mencubit dan meninju anak itu hingga menangis. Ibu si anak sampai bilang pada ibu Bimo untuk mengawasi Juni, karena dipikir Juni adalah adik Bimo. Ibu Bimo kadang malah harus minta maaf kalau Juni sudah bandel keterlaluan pada anak tetangga. Orangtua Juni juga sampai merasa tidak enak karena membuat ibu bimo harus menanggung kelakuan anak gadisnya itu. Tetapi orangtua Bimo tak pernah mempermasalahkan itu karena bagi mereka Juni juga seperti anak gadis mereka yang nakal, namun lucu dan menggemaskan. 

Karena penyakit ibu Bimo, beliau dilarang untuk hamil lagi setelah memiliki Bimo, padahal mereka ingin sekali punya anak perempuan seayu dan selucu Juni tetapi itu tidak memungkinkan lagi. 

Dengan hadirnya Juni di antara mereka merupakan berkah buat mereka, karena Juni dengan kepolosan, kelucuannya mampu menghadirkan warna indah dalam kehidupan keluarga Bimo.

Bimo dan Juni pun sangat akrab, mereka seperti kakak adik. Bimo mengajari Juni saat Juni kesulitan mengerjakan pr maupun saat ada ulangan disekolah. Karena saat Bimo duduk di bangku SMU, Juni masih SD. Apapun Juni tanyakan pada Bimo dan dengan sabar Bimo mengajari Juni. 

Walau kemudian Bimo disibukkan dengan kelulusan dan mulai kuliah, namun kedekatan mereka tak pernah berakhir. Bimo yang berotak cerdas dan supel membuat Juni betah berlama-lama dengan Bimo, berdiskusi apa saja. Karena walau masih kecil Juni gadis yang kritis dan cerdas. Dia tumbuh menjadi gadis yang ayu, ceria dan pemberani.

Sampai suatu ketika Juni masuk SMU, perasaan Bimo mulai berubah. Dia mulai merasa getar2 aneh dihatinya saat melihat Juni, merasa percik2 sayang bukan hanya sebagai kakak kepada adik, bukan hanya sebagai teman biasa. Bimo ingin menjadikan Juni gadisnya, gadis yang dicintai dan dimilikinya. Perasaannya perasaan laki-laki dewasa terhadap seorang wanita. Tapi beda dengan Juni, perasaannya tetap sama pada Bimo, dia masih terlalu polos saat itu untuk menyadari bahwa Bimo menyayanginya lebih dari seorang kakak kepada adik atau kepada teman.

Sampai kata-kata itu Bimo ucapkan

"Juni, mas Bimo sayang Juni."

"Heehh...iya Juni tau mas Bimo sayang Juni, kan dari dulu juga mas Bimo emank sayang Juni." Katanya polos.

"Ehmmm tapi bukan sayang gitu...bukan sayang yang Juni rasain kaya dulu2, ini sayangnya beda. Mas Bimo mau Juni jadi pacar mas Bimo." Ucap bimo tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya yang sudah berkembang beda itu.

"Haah...maksud mas Bimo apa? Kog mau jadi pacar Juni. Mas Bimo kan mas nya Juni...kog mau pacaran?" Tanya Juni tak mengerti atau entah pura-pura tak mengerti. Walau Bimo harus akui gemas melihat Juni seperti itu. 

"Tapi Mas pengen jadi pacar Juni, jadi laki-laki yang bisa sayang Juni bukan hanya sebagai kakak, tapi sebagai laki-laki dewasa pada seorang wanita pada umumnya." Ujar bimo lagi.

Juni tertunduk mendengar kata-kata bimo.

"Mas maaf ya, Juni cuma anggap mas Bimo kakak  saja, ga bisa jadi pacar mas Bimo. Ga papa ya mas?" Kata-katanya tiba-tiba pada Bimo. 

Mengecewakan. Bimo tak tahu apa terlalu dini dia mengatakan hal itu pada Juni. Tapi Juni sudah 16 tahun saat itu dan bimo sudah 23 tahun. Sudah lulus kuliah dan mulai bekerja di 1 pabrik gula terbesar dikota itu serta mempunyai jabatan yang lumayan bisa dibanggakan. Dia berpikir tidaklah terlalu dini dia menyatakan perasaannya pada Juni. Karena dia tahu gadis itu gadis yang supel dan Bimo sering juga mendengar beberapa pemuda dipemukiman mereka membicarakan Juni dan keayuannya yang memikat hati. Keramahan dan keceriaannya yang membuat hati setiap orang menyukainya tanpa paksaan. Sering rasanya cemburu tiba-tiba hadir dalam hati Bimo, oleh karena itu dengan nekatnya Bimo berkata begitu pada Juni.

Namun berbeda pada Juni. Juni tak pernah berpikir lebih bahwa Bimo akan menyayangi dia lebih dari adik. Juni tak pernah berpikir akan bisa jadi pacar Bimo yang ganteng, gagah dan cerdas itu. Dia tahu juga karena mereka sudah lama kenal maka Juni saat itu tak siap kalau tiba-tiba mengubah perasaan dia menjadi perasaan berbeda dari perasaan seorang adik pada kakak ke perasaan seorang gadis yang memuja dan mencintai Bimo sebagai seorang laki-laki dewasa.


***


Bimo tak pernah lagi mengungkit lagi perasaannya pada Juni. Namun ada yang sedikit berbeda pada hubungannya dengan Juni. Juni agak sedikit canggung pada Bimo, mungkin karena dia mengetahui perasaan Bimo padanya. Walau Juni tetap berusaha bersikap biasa namun Bimo merasakan perbedaan itu sekecil apapun. 

Terlebih saat bapak Juni meninggal karena sakit, Juni sedikit berubah sedikit pendiam. Dia berusaha mati-matian membantu ibunya yang hanya berjualan warungan. Dengan peninggalan bapaknya yang tidak terlalu banyak, Juni berusaha ingin selalu membantu ibunya, entah membantu ibunya menjaga warung atau menjadi guru les di komplek perumahan temannya karena disana banyak anak-anak yang ingin les. Walau dia masih murid SMU tapi dengan kecerdasannya dan sifatnya yang ceria serta baik, banyak anak-anak yang suka diajar olehnya. 

"Mas, aku nanti kalo udah lulus mau ke Jakarta ya." Ucapnya suatu kali pada Bimo. 

Bimo terkejut setengah mati mendengar hal itu. Tak pernah terbayangkan dia akan ditinggal pergi jauh oleh Juni. Meski kini dia merasa tak berhak apapun atas apa yang diputuskan oleh Juni, namun kedekatan mereka membuat dia merasa sedikitnya dia punya hak berpendapat baik mungkin sebagai kakak atau teman yang sudah sedari kecil bersamanya.

"Juni, Jakarta itu jauh..apalagi kamu masih muda, mau apa disana?"

"Aku mau kerja disana mas. Mau mbantu emak dan untuk sekolah Alin." Ucapnya beralasan. Alin adalah adiknya yang saat itu bersekolah di bangku SD.

"Kenapa ga kerja dikota ini aja tho Jun, kan banyak kerjaan disini juga. Mas bisa bantu Juni juga kalo mau cari kerjaan."

"Ga ah mas, mau cari yang lebih baik dan kalo diJakarta gaji juga mungkin lebih gede."

"Kamu sok tau tho..emank kamu pikir kehidupan disana piye? Enak nurutmu?" 

"Ya kan Jakarta kota lebih gede dari kota ini, pasti lebih baik lah mas. Mas ga usah kuatir. Juni bisa jaga diri."

"Aku ga setuju kamu ke Jakarta Jun, tapi smua terserah kamu, aku tho ga punya hak atas kamu. Asal ga bikin susah emakmu dan Alin, aku bisa apa kalo kamu ngeyel." Ujar bimo sedikit kesal tapi berusaha pasrah akan keputusannya. Sejak awal bimo tahu Juni gadis yang keras kepala dan pemberani. Entah itu jadi kelebihan dia apa kekurangan dia, Bimo tak pernah tahu.


***


Saat kelulusan tiba, Bimo sudah tak tahu lagi kabar Juni karena kesibukan Bimo bekerja. Dia kadang bisa kerja dari pagi sampai malam. Hingga tiba-tiba Bimo tahu dari ibunya bahwa Juni pergi ke Jakarta.

Ada sepucuk surat buat Bimo yang diberikan Juni dan dititipkan pada ibunya, bukan diberikan langsung padanya.

Mas Bimo

Maaf ya Juni pergi ga pamitan langsung sama mas
Juni tahu mas ga suka juni pergi ke Jakarta
Tapi juni harap mas ngerti keadaan juni
Doakan juni baik-baik saja ya mas dan sukses dijakarta ya mas
Juni juga doain mas, semoga mas bisa tambah sukses dan cepet dapat jodoh gadis yang baik dan sayang ama mas
Maafin Juni ya mas yang bandel ini ^_^

Junita


***


"Juni libur berapa hari?" Tanya Bimo

"4 hari mas. Besok dah kudu balik lagi Jakarta. Laa mas sombong, kata ibu jarang pulang seh." Katanya. Dia memanggil ibu Bimo dengan sebutan ibu karena sejak kecil ibu Bimo sudah jadi ibu kedua bagi Juni.

"Laa mas kan kerja tho Jun, lagian balik ga kabar-kabar mas, jadi kan mas bisa balik dari kemaren-kemarin." Kata bimo beralasan. Ada sedikit kecewa menyelusup ke relung hati Bimo. Karena sejak gadis itu ke jakarta tak sekalipun dia mengontaknya. Bimo hanya tau cerita tentang dia dari ibunya atau ibu nya Juni saat Juni menelpon ibu Bimo atau ibunya.

"Maaf mas, tak pikir mas kan sibuk kerja, aku ndak mau ganggu mas." Ujarnya memberi alasan.

"Kaya ama sapa tho jun kamu itu..." Kata Bimo sedikit kesal dalam hati karena bertemu dengannya hanya tinggal sesaat lagi sebelum dia kembali ke Jakarta.

"Jam berapa besok pulang Jun?" Tanya bimo pada akhirnya.

"Jam 8 an mas, naik bis. Biar nyampe ga kemaleman juga."

"Ya wes besok mas anter ya, nti mas ijin ke atasan mas, jadi bisa nganter kamu."

"Ngrepoti ga mas? Kalo mas sibuk ga usah, ndak apa, aku bisa pulang sendiri kog mas." Dia menjawab.

"Ga kog Jun." Ujar Bimo.

Sore sampai menjelang malam mereka habiskan dengan mengobrol. Mereka mengobrol apa saja. Karena sudah lama tak bertemu dan mengobrol, mereka terlihat asik mengobrol sampai ibu Bimo memanggil dan mengajak makan Juni dirumah mereka. Dan malam itu Bimo mengantar Juni pulang, walaupun hal itu sebenarnya tak perlu, karena jarak rumah mereka yang begitu dekat. Entah mengapa ada perasaan aneh menyelusup dibatin Bimo. Bimo tak tahu itu apa. Yang pasti begitu berat Bimo harus melepas Juni terlebih besok Juni harus kembali lagi ke Jakarta.

Kali ini mereka sempat bertukar nomor handphone. Setidaknya Bimo tak mau kejadian setahun ini terulang lagi. Dia tak mau kehilangan kontak dengan Juni lagi. Walaupun dia tak bisa menjadi pacar atau kekasihnya setidaknya dia bisa tetap merasakan kehadiran Juni bersamanya meski hanya sebagai kakak atau status apapun yang Juni mau sematkan padanya. 


Setidaknya saat dia kangen pada gadis itu, dia bisa menelponnya, bertukar sapa dan kata. Dan hanya dengan itu dia bisa merasa bahagia bahkan sedikit tenang mendapati gadis itu baik-baik saja berada dikota besar seperti Jakarta yang terkenal keras.


***



"Kabari mas ya kalo sudah sampai Jakarta. Udah simpan nomor mas kan?" Ujar Bimo saat Juni menaiki bis yang akan membawanya ke Jakarta. Jauh dari Bimo.

Juni hanya mengangguk sambil tersenyum manis.

Desiran aneh kembali menyelusup dihati Bimo. Entah apa, seakan-akan dia bakal lama lagi bisa melihat senyum Juni yang begitu. Namun dia menepis perasaan aneh itu dari hatinya dan menetapkan hati bahwa Juni akan baik-baik saja. Dia akan selalu melihat senyum itu berkali-kali dalam hidupnya, walau mungkin ada laki-laki lain yang suatu saat mendapat senyum yang lebih istimewa dari itu.

"Baik-baik ya Jun. Jangan neko-neko ya diJakarta." Bimo menasehati penuh sayang.

"Ya mas ku yang ganteng." Ujar Juni dengan senyum nakalnya menggodaku. "Nanti nek aku balik lagi mas dah gandeng cah ayu yaa jadi mbakku...ayo tho, moso mas gantengku iki ndak ada yang nglirak-nglirik gitu...pasti laak banyak." Lanjutnya terus menggoda Bimo.

"Wes ojo guyon ah...masmu cuma pengen ama cah ayu yang lagi dalem bis mau ke jakarta ini." Ujar bimo sembari mengacak rambut Juni.

Juni tersipu. Dalam hatinya dia jadi merasa malu telah lancang menggoda Bimo. Dan dia merasa ter 'skak' oleh perkataan Bimo walau diucapkan dengan nada guyon.

"Haalah si mas...tetep wae." kata Juni sambil terkikik geli menutupi rasa malunya. "Ati-ati ya mas setir mobilnya. Kerja yang rajin." Ucap Juni terakhir kali sambil melambai saat bis perlahan mulai berjalan melaju meninggalkan kota itu menuju Jakarta. Menemui impiannya lagi.


***