Minggu, 26 Oktober 2014

Ketulusan Hati 2



6 Bulan kemudian setelah kepulangan Juni ke kota kelahirannya




Kriing...Kriing...

Bimo menatap layar ponselnya, Juni. Senyum tiba-tiba merekah dibibir Bimo.

"Halo...Jun."


"Mas Bimo." Suara Juni lirih dengan isak tertahan diponsel Bimo.

"Ya Jun...kamu kenapa?" Bimo kaget mendengar ada nada tangis dalam suara Juni.

"Mas...mas bisa datang ke Jakarta ga jemput Juni?...Juni takut mas. Tolong mas...hikss hikss." Isak Juni kian lama kian mengeras.

Isak itu mengoyak hati Bimo. Perasaan Bimo campur aduk. Konsentrasinya pada pekerjaan dihadapannya saat itu buyar. Dipikirannya hanya ada Juni.

"Heehhh?? Kamu napa Jun? Jangan bikin mas kuatir...ada apa? Kog tiba-tiba pengen dijemput? Mau balik sini? Napa Jun?" Tanya Bimo penasaran dan kuatir yang makin bertumpuk. Terlebih hanya isakan yang dia dengar saat jeda setelah dia berbicara.

"Juni...napa Jun?"

Namun hanya hening tanpa kata. Hanya terdengar isak halus tertahan diponsel Bimo. Isak milik Juni. Yang makin membuat Bimo tak karuan perasaan dan pikirannya.

"Iyaa iya Jun. Mas jemput Juni yaa...tapi mas kudu urus kerjaan dulu, mungkin besok apa lusa mas jemput kamu yaa...ndak apa-apa tho?"

Masih hanya isak tangis yang terdengar diujung telpon.

"Jun...." Ucap Bimo lembut.

"I..I..I yaa mas..." Jawab Juni akhirnya terbata. "Makasih ya mas." Lanjutnya lirih. Juni menarik nafas berat dan mendesah lelah. Masih terdengar sisa-sisa isak tangisnya.

"Udah jangan nangis ya, mas jadi kuatir Jun."

"Iya mas, maaf buat mas kuatir. Aku tunggu mas ya. Makasih ya mas."

Juni menutup telpon diujung sana. 

Bimo tak mengerti, bahkan belum sempat berpikir mengapa Juni menangis seperti itu. Hati Bimo gelisah, tak pernah Juni begitu. 

Beberapa hari lalu dia masih sempat bertelpon dengannya dan suaranya masih seceria biasanya. Semua baik-baik saja, tapi telponnya kali ini membuat Bimo merasa takut dan kuatir.

Ada apa Jun?....

Bimo meyakinkan dirinya bahwa Juni tak apa-apa, baik saja. Tapi dari nada suara dan tangisnya Bimo merasa Juni sedang dalam keadaan tak baik. Tapi dia berusaha keras menepis kemungkinan terburuk itu dari benaknya. Serta mereverse dirinya bahwa Juni sedang baik-baik saja.

Segera dia membereskan pekerjaannya yang sempat ditinggal saat tadi bertelpon dengan Juni. Walau harus dengan konsentrasi terpecah karena separuh pikirannya ada pada Juni. Bimo harus menyelesaikan dulu pekerjaan dia sebelum bisa meminta ijin untuk menjemput Juni di Jakarta.


***


Gadis itu merasa kotor, sudah berulang kali dia mandi tapi tak pernah lagi dia merasa bersih.

Dia menangis tersedu, entah menangis untuk yang keberapa kalinya hari ini.

Terbayang lagi peristiwa 3 hari lalu. Peristiwa yang mungkin akan terus menghantuinya sampai kapanpun juga, seumur hidupnya.

Membayangkan dirinya tak lagi suci, penuh noda. Dia merasa impian dan harapannya hancur. Dunianya hancur. Merasa kotor dan hina.

Ingin rasanya dia mengakhiri hidupnya yang sudah nista itu. Tapi saat mengingat emak dan Alina, adiknya, dia tak tega melakukan itu.

Terlebih saat dia mengingat Bimo. Walau enggan di akui, dalam hatinya yang terdalam, saat sedih dan senang dia mengingat lelaki ganteng dan baik itu.

Mengingat laki-laki pertama yang menyatakan rasa cintanya kepadanya dan berakhir dengan tolakannya.

Hatinya saat itu ikut hancur melihat kecewa dimata indah lelaki itu saat mendengar kata-kata penolakannya. Tapi saat itu dia tak mengerti mau menjawab apa. Dia tak mengerti caranya mengganti perasaan sayangnya kepada Bimo sebagai kakak menjadi rasa sayang seorang wanita kepada laki-laki.


Sedari kecil, Juni tak pernah membayangkan Bimo bisa mencintainya dengan cinta seperti itu. Dalam benaknya, dia hanya mengira Bimo akan mencintai dia sebagai adiknya. Walau diakui dari kecil Bimolah sosok laki-laki idolanya selain bapaknya yang begitu mencintai dan menyayangi emaknya.

Sedari kecil juga, Juni hanya berpikir betapa bahagia dengan hanya memiliki Bimo sebagai kakaknya, yang melindungi, menyayangi dia.

Maka saat Bimo menyatakan perasaannya, hati Juni gundah, dia bingung. Terlebih lagi, dia tak punya pengalaman dicintai laki-laki dengan cinta seperti itu, yang ingin menjadikan dia pacarnya, kekasihnya, gadisnya atau apalah namanya. Dia berpikir, benarkah perasaan Bimo itu? Atau hanya perasaan yang timbul karena sering bersamanya sedari kecil. Hingga dia merasa ragu dan tak tahu berbuat apa.




Seringkali dia berusaha bertanya lebih jauh lagi perasaannya. Tapi semua jadi kabur antara perasaan sayang nya pada kakak apa rasa sayang wanita pada seorang laki-laki.

Selain itu, sejak peristiwa itu, Bimo tak pernah lagi mengungkit-ungkit masalah perasaannya dan bertanya pada Juni lagi atau mau menunggunya memastikan perasaannya yang sesungguhnya.

Namun saat awal kelas 3 SMU, ada teman sekelasnya menyatakan perasaan cintanya padanya dan mereka sempat berpacaran. 

Anehnya, dia selalu membanding-bandingkan laki-laki itu dengan Bimo. Dia jadi merasa laki-laki itu tak sebaik, tak selembut dan tak sepintar Bimo. Dia jadi melihat banyak kekurangan pada laki-laki itu. Sebenarnya tak adil bagi laki-laki itu karena dia pun memiliki kelebihan sendiri yang berbeda dengan Bimo. Tapi anehnya, itulah yang dia rasakan pada dirinya. 

Akhirnya hubungan yang baru dimulai itupun hancur berantakan.

Sejak Bimo menyatakan perasaan cintanya, Juni sempat merasa jengah berdekatan dan terlalu akrab dengan Bimo, mungkin karena dia tahu perasaan Bimo yang beda padanya. 

Walau sebenarnya Bimo tetap bersikap sama seperti sebelum pernyataan cinta itu dan penolakan itu ada. Namun tidak bagi Juni, semua tak lagi sama, makanya dia mulai sedikit menutup diri, sedikit pendiam saat bersama Bimo.

Terlebih lagi ketika bapak meninggal, dia jadi punya alasan untuk merasa bahwa tanggung jawab beralih ke pundaknya sebagai anak tertua untuk mencari nafkah, karena jika semua diserahkan pada emaknya, dia merasa tak tega, demikian juga adiknya, tak mungkin dibebani tanggung jawab sebesar itu. 

Itu juga jadi salah satu alasan agar dia dapat sedikit menghindar dari Bimo, dengan sibuk membantu emak atau bekerja mengajar les anak-anak. Selain itu juga, Bimo yang sibuk kerja memudahkan Juni untuk tidak terlalu sering bertemu Bimo.

Dan keinginan gila lainnya yang sebenarnya adalah alasan lain untuk menghindari laki-laki itu adalah pergi ke Jakarta dengan alasan bekerja.

Padahal mati-matian lelaki itu melarangnya, membeberkan alasan-alasan kenapa dia keberatan saat Juni berkeras ke Jakarta, namun akhirnya pasrah karena kekeras kepalaannya mengalahkan semua hal yang sudah dibeberkan Bimo padanya. 

Bahkan, dia tidak berpamitan langsung pada Bimo saat pergi meninggalkan kotanya. Tidak mengontak sama sekali lelaki itu dan tidak berusaha berbicara padanya meskipun dia mengontak ibu Bimo atau emaknya. 

Juni hanya berpikir, mungkin itu satu-satunya cara agar Bimo bisa memupus cinta nya pada Juni. Dia tak mau lagi membuat laki-laki itu kecewa dan sedih.

Tapi hal itu ternyata salah, karena saat terakhir bertemu 6 bulan lalu, masih dilihatnya dimata lelaki itu pendar rasa sayang dan cintanya pada Juni. Bukan sekedar cinta seorang kakak pada adiknya yang baru pergi jauh dan baru bisa bertemu lagi. Tapi pendar cinta yang mengandung luka dan kecewa karena merasa diabaikan olehnya, dimata lelaki itu.

Saat diatas bis pun demikian, dia tak mengira guyonannya membuat Bimo harus mengulang pernyataan bahwa ternyata dia masih mengharapkan Juni. 

Juni jadi makin terbelit akan rasa itu. Namun entah kekuatan apa yang membuat dia memutuskan akhirnya membiarkan rasa itu berkembang sendiri, merasakan nikmatnya diperhatikan dan dicintai oleh Bimo.

Dalam 6 bulan sejak kepulangan dari kotanya, tak pernah sekalipun Bimo lalai mengontaknya, memperhatikannya, menghiburnya. 

Hanya sekedar ngobrol, apa saja, bahkan menelpon hanya sekedar mendengar suara dan tawa Juni. Juni juga membiarkan perasaannya pada Bimo berkembang sendiri. 

Dia memang ingin memberi Bimo harapan, ingin berusaha bisa juga mencintai Bimo bukan hanya sebagai kakak tapi sebagai wanita yang kini beranjak makin dewasa kepada seorang laki-laki. 

Mengharap bisa merajut mimpi-mimpinya bersama Bimo, menjadi kekasihnya, bukan lagi adiknya, karena dia sadar masih ada pendar harapan, rindu dan cinta laki-laki itu padanya.

Andai saja peristiwa malam itu tak ada...

***

"Aku antar pulang ya Jun." Ajak Randy padanya.

"Ga usah mas Randy, saya biasa pulang sendiri." Tolak Juni halus.

"Tapi dah kemaleman Jun, bahaya juga buat cewe sendirian malam-malam pulang."

"Ga papa mas, kost saya kan dekat juga, naik angkot sekali juga dah nyampe, lagian mas kan rumahnya berlawanan arah dengan saya." Ujar Juni lagi.

"Ya udah kalo ga mau, hati-hati ya. Nti klo dah sampe telpon mas ya. Kuatir juga temen kerja mas malem-malem gini pulang sendiri." Ujar Randy pada akhirnya menyerah karena penolakan Juni yang tetap tidak mau diantarnya pulang.

"Iya mas, udah jangan kuatir. Saya kan wanita pemberani mas. Siapa juga takut ma saya dan ga berani macem-macem." Ujar Juni masih bisa bercanda.

"Iya, kamu tuh mandiri banget Jun, salut dah." Randy tersenyum mendengar perkataan Juni.

Mereka berdua pulang ke arah berlawanan. Juni naik angkot kearah barat dan Randy pulang dengan mengendarai motornya ke arah timur. Tak ada firasat, tak ada pertanda apapun.


***


Randy belum masuk kedalam rumah saat ponsel miliknya berbunyi.

"Halo..."

"Mas Randy, tadi Juni lembur bareng mas kan? Tadi aku telpon Sukma yang lembur juga tapi dia bilang udah pulang duluan. Terakhir mas Randy ama Juni." Suara Maya teman Juni dan teman kerja 1 tokonya.

"Iya May, Juni tadi pulang akhir bareng aku. Dia pulang naik angkot. Tadi aku mau anter tapi dia ga mau. Jadi ya udah. Memang kenapa May? Juni belum sampe?" Tanya Randy.

"Kira-kira jam berapa kalian pulang mas?" Lanjut Maya, suaranya terdengar sangat cemas.

"Ehhhmm, jam 9 an lebih dikit kayanya kita keluar tadi. Bentar...." Randy tadi sempat melihat jam tangannya saat keluar gedung bersama Juni. Dan sekarang dia melihat ulang jam tangannya, pukul 22.50. Karena tadi dia sempat mampir makan di sebuah resto, dia baru sampai rumah saat ini.

"Kog sampe sekarang Juni belum datang ya mas?" Lanjut Maya.

"Haa? Udah hampir 2 jam lo May."

"Iya itu mas, Maya kuatir. Biasa jarak sini ama toko kan cuma 30 menitan, masa ini 2 jam belum sampe-sampe. Mas bisa bantu Maya cari Juni ga? Tolong mas." Isak tangis Maya mulai terdengar saat dia memohon agar Randy mau menolongnya mencari Juni.

"Memang ditelpon ga diangkat May? Tenang dulu May. Jangan nangis." Randy berusaha menenangkan Maya yang mulai terisak-isak tak karuan.

"Udah mas, tapi kayanya ponselnya disilent atau ga tau mas kenapa. Tolong ya mas kesini sekarang." Pinta Maya pada Randy.

"Oke...aku kesana sekarang, tunggu ya May..."

Randy bergegas menyalakan motornya lagi dan melaju menuju kost Maya dan Juni. Hatinya turut cemas. Andai tadi dipaksanya Juni untuk mau diantar tentu hal ini tak akan terjadi. Tapi ditepisnya kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada Juni. Sambil terus berdoa sepanjang jalan bahwa Juni baik-baik saja.


***



Malam mulai merambat naik sampai menjelang tengah malam.




Maya dan Randy berkeliling menyelusuri jalan-jalan yang dilalui Juni dari toko ke tempat kost. Mereka melihat ke kanan kiri, berharap Juni tiba-tiba muncul. Bahkan bertanya pada beberapa supir angkot yang kira-kira dinaiki Juni untuk pulang kekostnya. Namun hasilnya nihil.

Menjelang pukul 2 dini hari mereka kelelahan dan akhirnya dengan berat hati memutuskan menghentikan pencarian dan kembali ke kost Maya sambil terus berharap juga Juni udah kembali kesana.

Tiba-tiba ponsel Maya berbunyi. Maya buru-buru mengangkat ponselnya dan berharap itu Juni.

"Halo..."

"Halo ni Maya bukan?" Tanya seorang laki-laki dari ponselnya.

"Iya...ini sapa ya?" Tanya Maya bingung karena tak merasa mengenal suara laki-laki di ponsel itu.

"Gue Bayu, tadi gue ama temen-temen gue anter 1 orang cewe ke rumah sakit. Gue pikir sepertinya temen elu."

Maya merasa dadanya berdebar keras dan jantungnya secara mau copot. Dia memikirkan Juni. Apa ini tentang Juni. Ada apa dengannya. Dengan tergesa dia menjawab.

"Yaa yaa...temen saya sapa ya?"

"Temen lu tadi terkapar dipinggir jalan. Pas gue ma temen-temen lewat abis pulang jalan-jalan. Keadaannya mengenaskan. Sepertinya dia abis "dikerjain" orang. Gue tau nomor elu dari ponsel dia karena banyak misscall elu di ponsel dia, gue pikir pasti elu lagi nyari dia." Laki-laki itu terus berbicara sambil menerangkan. Maya sedikit kehilangan kesadaran. Dia berkata dalam hatinya, ini tentang Juni...Ya Tuhan apa yang terjadi padanya.

"Lu sekarang cepet ke Rumah sakit deh, gue tungguin ya." Lanjut laki-laki itu yang Maya lupa sudah namanya. Dalam pikiran Maya hanya ada bayang Juni.

"Iyaa iyaa saya kesana sekarang."

Randy yang sedari tadi diam mendengar percakapan itu segera bertanya pada Maya saat Maya menutup telponnya.

"Napa May? Juni dimana?" Tanyanya penasaran.

"Ayo mas kita ke rumah sakit sekarang. Dan jangan nanya-nanya dulu." Ujar Maya masih sangat shock setelah menerima telpon tadi.

Randy bergegas melajukan motornya dipagi buta itu menuju ke rumah sakit yang dipinta Maya.


***


"Kamar 403." Ujar recepsionis saat Maya bertanya dimana wanita bernama Junita berada.

Bisik-bisik antara penjaga rumah sakit terdengar sekilas ditelinga Maya.

"Kasian ya cewe itu...wajahnya cantik. Tapi ya ampun ngenes banget liatnya."

Maya menepis pikiran buruk dari kepalanya mendengar bisik-bisik itu. Tanpa sadar digenggamnya erat tangan Randy seakan butuh kekuatan agar dirinya mampu bertahan dan tak ambruk saat itu juga.

Didepan kamar yang dituju ada 2 orang laki-laki menunggu. Sepertinya salah satunya yang tadi menelponnya.

"Maya?" Tanya seorang laki-laki mungkin berumur sekitar 20 tahunan. Wajahnya tampan menggunakan kacamata. Maya tak sempat lagi menilai orang itu karena pikirannya sedang kacau.

"Yaa...saya Maya." Ucap Maya terbata sambil menerima jabat tangan dari laki-laki itu.

"Bayu." Katanya memperkenalkan diri. Temannya disampingnya hanya diam dan tersenyum kecil. Lalu laki-laki bernama Bayu itu melihat Randy dan juga mengulurkan tangannya pada Randy.

"Randy." Ujar Randy pada Bayu.

"Teman lu ada didalam, tadi dokter udah periksa dia. Ada kekerasan terjadi pada dia."

Lalu Bayu menceritakan kronologis kejadian saat dia menemukan Juni ditepi jalan yang dia lewati bersama teman-temannya. Tadi mereka berlima, 3 cowo dan 2 cewe tapi 1 cowo sudah pulang dulu mengantar 2 cewe temannya yang lain.

Maya terbelalak ngeri mendengar cerita Bayu. Tak kuasa airmatanya mengalir makin lama makin deras. Tubuhnya terasa remuk redam seperti dipukul oleh palu godam

Ya Tuhan...hanya itu yang bisa diucapnya dalam hati karena tak sanggup berkata apa-apa mendengar cerita itu.

"Tadi dia sempat sadar dan menangis histeris. Dia terlihat sangat ketakutan. Tapi sekarang udah dikasi penenang ama dokter dan udah tidur. Badannya juga udah dibersihin ama suster. Besok hasil visumnya baru bisa diterima." Cerita Bayu lagi.

Maya hanya membeku. Randy merangkulnya memberi kekuatan. 

Ada sesal dalam diri Randy. Andai malam itu dia memaksa Juni untuk diantar mungkin hal ini ga akan terjadi. Dia merutuk dalam hati kenapa malam itu tak dipaksanya Juni untuk pulang bersamanya. Tapi saat ini mungkin sudah terlambat untuk menyesali hal itu.


***


Bayu dan temannya akhirnya pamit pulang. Dia bilang sudah mengurus administrasi awal saat Juni dibawa olehnya dan teman-temannya. Tapi dia berkata pada Maya kalau memerlukan bantuannya bisa menelpon dia.

"Terima kasih banyak ya Bayu. Saya berterimakasih sekali sama kamu yang udah baik banget mau menolong teman saya." Ujar Maya setelah agak tenang.

"Sama-sama, jangan sungkan. Kalau ada yang bisa gue bantu napa ga." Ujar Bayu tulus.

Maya berpikir orang seperti Bayu udah langka didunia ini. Bahkan dikota ini sepertinya jarang banget bisa nemu orang kaya dia, nolong orang yang ga dia kenal sama sekali yang mungkin bisa beresiko merugikan dia. Tapi Maya sangat bersyukur masih ada orang seperti Bayu sehingga bisa menolong Juni dan menyelamatkan nyawa Juni.

"Makasih juga buat teman-teman kamu ya Bayu. Sampaikan rasa terimakasih kami." Ujar Randy menambahkan.

"Iya gue akan sampaikan."

Lalu Bayu dan 1 temannya yang bahkan Maya tak tahu namanya meninggalkan Maya dan Randy dalam keheningan rumah sakit.


***


Maya dan Randy memasuki kamar yang berpenerangan minim itu. Mereka melihat Juni sedang tertidur pulas. Wajahnya pucat. Mungkin terlalu lama tergeletak kedinginan malam itu sebelum ditemukan oleh Bayu dan teman-temannya.

Tak kuasa Maya terisak tanpa suara. Randy memeluknya tanpa prasangka, hanya sekedar ingin berbagi sedih melihat keadaan Juni yang seperti itu.

Dalam hati mereka berdua sama-sama merasa ada sesal dan tanya kenapa Juni harus mengalami hal ini.

"Mas Randy pulang deh, Maya ga papa disini nunggu Juni." Ujar Maya pada Randy saat keadaan keduanya tenang setelah tergoncang sama-sama tadi.

"Mas...tolong jangan bilang temen-temen toko dulu yaa. Bilang ama pak Rudy aja dulu tentang hal ini. Dan katakan pada teman-teman kalau Juni sakit ama saya juga ijin mau jagain Juni. Gitu aja ya mas?" Maya berkata sambil mereka alasan yang tepat untuk menggambarkan keadaan Juni saat ini.

"Iya May, nti mas atur deh. Kamu tenang ya. Kalo ada apa-apa kontak mas. Mas balik dulu ya."

"Iya mas, ati-ati ya."

Randy keluar dari kamar dan meninggalkan rumah sakit.


***


"Aaaahhhh.....aaahhhhhh….." Teriak Juni histeris. Maya tergopoh bangun saat mendengar teriakan itu.

Juni menangis keras, suaranya memilukan hati. 

Maya merengkuh gadis dihadapannya turut menangis bersama. Walau kepedihan itu tak bisa sama dirasakan olehnya tapi dia setidaknya turut berduka atas semua yang telah dialami sahabatnya itu.

Tragis...pikirnya...tak dinyana, tanpa firasat tanpa pertanda sebelumnya, kejadian yang tak pernah siapapun bayangkan atau inginkan,terjadi pada sahabatnya itu.

Apa salahnya ya Tuhan? Hanya itu rintihnya dalam hati melihat betapa ringkih dan rapuhnya wajah gadis dihadapannya itu kini.

Mata indahnya terus berurai airmata kesedihan yang dalam. Seakan dia merasa dunianya hancur. 

Maya tak berdaya melihat kesedihan itu. Dia tak tahu harus melakukan dan berkata apa. Hanya mampu memeluknya dan menangis bersama-sama. 

Kalau dengan menangis bisa menghilangkan ingatan atau kejadian malam itu, mungkin mereka akan terus menangis sampai semuanya bersih lagi. Tapi semua tak lagi sama. 

Maya tahu hidup Juni tak akan lagi sama.

Hati Maya seakan ditusuk ribuan jarum saat itu. Ingin rasanya dia mengangkat beban Juni saat itu andai dia bisa.

Kedua gadis itu hanya saling berpelukan, menangis bersama-sama dan bertanya dalam hati.


‘Ya Tuhan napa Kau lakukan ini padaku?’ Jerit Juni dalam hati.

‘Ya Tuhan napa Kau lakukan ini padanya?’ Jerit Maya dalam hati.

Tapi tak ada jawab. Hanya ada tangis yang menggema yang terpantul keseluruh ruangan itu dari tangis keduanya.






***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar