Aku sedang berada dikantorku mempelajari beberapa dokumen
penting. Akhir-akhir ini pekerjaanku sangatlah padat. Aku sudah melupakan
tentang gadis itu kalau dia tidak tiba-tiba menelponku.
Kriiing….Kriing…
Aku melihat ponselku. Nomor baru yang tidak aku kenal. Siapa
yang bisa menelpon langsung ke ponselku ya. Aku memang tidak memberikan nomor
ponselku sembarangan. Hanya beberapa teman dekat dan keluargaku yang tahu nomor
ponselku. Atau asisten pribadiku, dan beberapa klien yang sudah bersahabat
denganku.
Jika menyangkut kepentingan pekerjaan dan lain-lain, orang akan
menghubungiku ke kantor atau melalui asistenku.
“Halo…” ujarku sambil tetap tak mengalihkan mataku dari
dokumen yang kupelajari.
“Halo, ini Edward?” Tanya seorang gadis disebrang telpon.
“Ya…siapa ini?” tanyaku sambil berusaha mengingat suara di
telpon itu. Aku menghentikan sejenak pekerjaanku dan mulai fokus pada pembicaraan diponselku.
“Aku Jemima…ehmm kita pernah ketemu…aduh lupa berapa bulan
lalu yaa…” ujarnya sedikit ragu. “Apa kamu ingat kita pernah berselisih ditoko
buku kecil karena masalah buku arsitektur?” tanyanya lanjut berusaha
mengembalikan ingatanku padanya.
“Jemima?...ehmmm sebentar…aku sedikit lupa, buku yaa??”
tanyaku lebih kepada diriku dan ingatanku. Aku mengeryitkan dahiku untuk lebih
berusaha mengingat sosok gadis yang suaranya sedang berbicara diponselku
sekarang.
“Iyaa…iyaa…yang rebutan buku itu ditoko buku, aku janji kasi
buku itu ke kamu kalau udah ga aku perlu lagi. Dan tugas akhirku udah selesai
sekarang. So kamu bisa ambil deh buku itu.” Lanjutnya bersemangat
mengingatkanku.
Oww…gadis itu…
Aku tak mengira dia masih mengingat janjinya untuk
memberikan buku itu padaku. Karena sebenarnya aku tak terlalu menganggap dia
serius saat itu sehingga aku pun melupakan janjinya begitu saja.
“Jadi mau kamu ambil dimana? Bisa kita ketemuan dimana?”
tanyanya lagi menyadarkanku. Mungkin karena aku terdiam tak menjawabnya.
“Ehmmm…boleh deh, bisa datang ke tempat ini?” lalu aku
menyebutkan nama satu tempat untuk janjian ketemu dengannya.
“Bisa…jam berapa? Masih inget aku? Atau mungkin kita harus
pake tanda pengenal ya? Atau apa ya, penanda gitu deh.” Ujarnya antusias.
Aku
tak pernah mengira ada gadis seaneh itu, hanya demi memberi sebuah buku begitu
antusiasnya dia.
“Oke jam 7 deh ya…see u there ya…sepertinya aku masih
sedikit ingat kamu. Atau kamu taruh aja buku itu diatas meja nanti aku akan
mengenalinya. Kalau aku tiba dulu, aku akan taruh saputanganku diatas meja,
biar kamu tahu itu aku.” Jawabku sambil memberi ide tentang cara kami bertemu.
Siapa tau memang diantara kami ada yang lupa wajahnya.
“Oke deh…” jawabnya akhirnya sambil menutup hubungan
telponnya.
Gadis yang aneh, pikirku. Namun tak urung aku tersenyum juga
mengingat kejadian barusan.
***
Aku melirik jam tangan dipergelangan tanganku. Pukul 6.45,
15 menit lagi aku harusnya sudah ada dikafe tempat aku janjian dengan gadis
itu…emmm siapa ya namanya, o iya Jemima.
Tapi melihat rapat ini masih berjalan sedikit alot,
sepertinya aku akan terlambat datang kesana.
“Oke jadi bagaimana menurut bapak akan rencana proyek
pembangunan gedung itu? Yang akan menangani standarisasi dan melihat ke
lapangan mungkin lebih tepat ditangani pak Burhan, pak. Selain beliau
berpengalaman beliau juga sangat tahu dan paham akan lokasi tempat pembangunan gedung
itu. Bagaimana pendapat bapak?” ujar Ali, salah satu staff ahliku.
“Ehmmm…oke tolong nanti dilist aja dulu siapa-siapa yang
siap dan mampu terlibat dalam proyek ini, karena sepertinya ada beberapa orang
yang berkompeten, jadi mungkin saya akan melihat ulang lagi deh. Sepertinya
proyek ini sedikit sulit dan perlu orang-orang yang benar-benar paham, karena
klien kita kan klien besar, jadi kita harus bekerja ektra hati-hati. “ ujarku
kemudian karena merasa banyak nama yang disodorkan namun ada perdebatan
sana-sini siapa yang pantas atau tidak menangani proyek besar kali ini.
“Baik pak, besok saya serahkan ke asisten bapak listnya.”
Ujar Ali padaku.
“Oya Ali tolong kamu urus juga proyek dengan Baprido sudah
sampai sejauh apa, saya mau melihat perkembangan nya sampai sejauh apa. Besok
tolong kasi semua laporannya ke asisten saya ya.” Kataku pada Ali sebelum
mengakhiri rapat yang sudah berlangsung 2 jam tanpa jeda itu.
Aku merenggangkan badanku sejenak saat kembali ke ruanganku.
Lalu menyambar jasku dan segera berlalu menuju ke tempat parker mobilku
dilantai basemen.
Jam tanganku sudah
menunjukkan angka 7.10…sudah 10 menit aku terlambat. Rasanya tak enak terlambat
dipertemuan pertama dengan seorang gadis, walaupun itu bukan kencan. Aku
menyalakan mesin mobilku dan melaju menembus jalanan menuju tempat pertemuanku
dengan Jemima.
***
Di sebuah kafe
Gadis itu sudah menunggu disana sekitar 20 menitan.
Saat
tiba di kafe itu, dia sempat melirik ke jamnya, 6.50. Kepalanya
celingak-celinguk mencari seorang laki-laki dengan saputangan di atas meja.
Tapi tak menemukan orang yang dimaksudnya. Terlalu cepat mungkin, pikirnya
dalam hati. Entah mengapa dia ingin lagi bertemu lelaki itu, karena itu dengan
alasan memberi buku, dia jadi bisa bertemu ulang dengan laki-laki itu.
Pertama kali menatap laki-laki itu saat buku ditangannya
dirampas paksa olehnya, dia sudah menilai terlalu jauh fisik lelaki itu.
Matanya yang besar, tajam, dengan hidung yang menjulang tinggi, rambutnya yang
bergelombang membuatnya terlihat tampan, rahangnya keras namun bagus dilihat,
pas berada diwajahnya yang oval. Badannya tegap dan berisi, terlihat begitu
ideal dimatanya. Dia mengira-ngira mungkin umur lelaki itu sekitar 30 tahunan.
Mengenakan setelan jas yang elegan dan terlihat mahal, khas eksmud kota
metropolitan.
Ajang rebutan dengan laki-laki itu menyisipkan senyum diwajahnya
senantiasa. Mungkin kalau bukan dengan lelaki itu, dia ga akan sengotot itu mau
berebutan. Tapi dari awal melihat matanya yang melebar kearahnya, mata itu udah
menghipnotisnya, hingga dipikiran jahilnya, mungkin itu salah satu caranya untuk
bisa punya alasan berbicara atau berkenalan dengannya.
Tetapi saat melihat akhirnya laki-laki itu mengalah dan kemudian
berlalu begitu saja, dia sebenarnya kehabisan akal. Tapi saat melihatnya sedang duduk di kafe
dekat toko buku itu, timbul lagi idenya untuk dapat mengenal laki-laki itu. Dan
ide untuk memberikan buku buat laki-laki itulah yang melintas dibenaknya saat
itu, karena dia melihat sepertinya lelaki itu sangat mengingini buku itu.
Ah malunya bila memikirkan itu. Dia tersenyum membayangkan
hal itu.
Mungkin laki-laki itu tak akan pernah mengingatnya
sedikitpun, saat dia menelpon laki-laki itu kemarin, dia juga sudah melupakannya.
Namun begitu senangnya gadis itu saat lelaki itu akhirnya mau menemuinya.
Dan disinilah dia saat ini, menunggu laki-laki itu dengan
dada yang berdebar-debar.
Dia meletakkan buku itu diatas meja, telah beberapa kali dia
menggeser letak buku itu, supaya dapat terlihat oleh laki-laki itu. Sambil
beberapa kali menatap jam tangan tipisnya. Waktu seakan berjalan lambat baginya.
***
Aku berlari kecil menuju kafe yang telah disepakati untuk
pertemuan dengan gadis itu.
“Maaf…” ujarku saat tak sengaja
menabrak seorang ibu karena terburu-buru berlari.
Saat tiba dikafe yang dimaksud,
aku berjalan kedalam dan mulai mencari sesosok gadis yang kira-kira mungkin
gadis itu.
Aku melihatnya sudah menungguku dengan buku diatas mejanya.
Aku melirik sekilas jam tanganku, ups telat hampir 30 menit, pikirku
malu. Hal yang seharusnya ga pernah aku lakuin sebagai seorang pengusaha. Waktu
adalah uang dan itu berharga. Kalau saja ini pertemuan bisnis besar, pasti udah
lenyap sedari tadi.
Aku menenangkan diriku, entah kenapa tiba-tiba aku deg-deg
an melihat gadis itu.
Dia mendongak menatapku karena mendengar seseorang mendekat
kearahnya lalu kemudian melihat sekilas
kearah jam tangannya.
“Maaf…telat…” ujarku saat menyapanya pertama kali. “Edward,”
ujarku memperkenalkan diri lagi kepadanya sambil memberikan tanganku untuk
bersalaman “Jemima?”
“Bangeet…” ujarnya sedikit manyun, “Ya…Jemima.”
Entah mengapa aku tiba-tiba ingin tersenyum melihat mulutnya
yang dia monyongkan dengan wajah sedikit jutek.
“Soriii…udah usahain banget datang on time tapi karena ada
rapat tadi, jadi telat.” Kataku
menjelaskan, entah mengapa sepertinya penting untuk menjelaskan tentang
keterlambatanku padanya walau sebenarnya tak penting juga, toh kami bukan
bertemu untuk berkencan tapi hanya untuk serah terima buku. That’s it dan
mungkin setelah itu aku ga akan bertemu dia lagi.
Dia tersenyum dan baru aku sadari senyum gadis ini manis
sekali. Baru kali ini aku jelas menatapnya.
Matanya besar bulat dengan sinar lembut, hidungnya kecil
tapi mancung, bibirnya kecil dan tipis, rambutnya terurai sebahunya dan
berwarna hitam lebat. Gadis ini cantik, menurut penilaian awal bisa kuberi
nilai 8, tapi sederhana, tak bermake up seperti gadis-gadis lain seumur dia.
Menurut perkiraanku mungkin umurnya baru sekitar 20 atau 21 an karena dia
pernah berkata sedang menyelesaikan tugas akhirnya.
“Ga papa kog, salah aku juga kecepetan…” ujarnya sambil
tertawa kecil.
Aku duduk di bangku depannya.
“Ga kog, karena tadi meetingnya kelamaan aja,” ujarku sambil
tersenyum kearahnya. “Yah namanya kerja hehe…gitu deh walau kadang cape juga
karena hampir seluruh waktu aku buat kerja dan kerja.”
“Emank kamu jarang seneng-seneng ma temen ya?” tanyanya, “Ga papa kog, kan ga penting-penting
juga ketemu aku, not a big problem.” Katanya lagi sambil tersenyum.
Senyumnya indah…heeii
napa aku bisa berpikir demikian tiba-tiba tentang dia ya?
Aku jadi intens memperhatikan apa yang dilakukannya. Dan
ternyata berbicara dengannya begitu mengasikkan, menenangkan dan membuat aku
sedikit rileks setelah tadi berjibaku dengan pekerjaan dan rapat panjang yang
aku lalui sepanjang hari ini sebelum bertemu dengannya.
Kami berbincang-bincang tentang desain, arsitektur, tentang
aku, tentang dia. Nyambung banget. Kadang aku yang berbicara, kadang dia yang
bercerita panjang lebar.
Berbincang dengannya begitu mengasikan sehingga tak terasa
waktu berlalu begitu cepat. Mulai dari pertemuan soal serah terima buku itulah
aku mulai merasa tertarik dan ingin terus bertemu dengannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar