Aku terhenyak membaca
tulisan nya disurat itu. Ternyata, dia mencintaiku. Ya Tuhan kenapa baru
sekarang dia katakan itu. Antara sedih dan senang. Aku senang ternyata aku tak
bertepuk sebelah tangan, tapi kini aku sedih karena semua sudah terlambat. Dan kini….aku
juga tau dia sudah pergi, entah kemana.
Sekarang aku jadi cemas
dan tak tahu harus berkata apa. Antara bingung apa yang aku harus lakukan
menerima semua ini. Aku menangis mendekap surat itu. Ternyata sebegitu beratnya
hidupnya. Apa yang terjadi? Banyak tanya bersliweran dibenakku namun tak
satupun aku dapat jawabnya.
Kriiing…kriing…
Aku terkejut, ponselku
berbunyi nyaring. Aku merogoh tasku yang tergeletak diatas kasurku. Dari
Vero…Ya Tuhan aku baru teringat Vero, dia kan calon istrinya, kenapa aku bisa
lupa padanya. Aku menerima surat dari calon suaminya mengabarkan dia pergi, dan
kini aku harus menghadapi Vero yang mungkin mengabarkan tentang calon suaminya
yang pergi di malam sehari sebelum pernikahan mereka.
“Haloo…” aku berusaha
menenangkan debaran jantungku yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Dan
berharap semoga mulut dan pikiran tidak bekerjasama dengan baik, karena saat
ini dipikiranku hanya ada nama Ernest, dan itu jangan sampai terucap dimulutku
dan didengar Vero saat ini.
“Keii….” Teriak Vero
kencang diponselnya. Aku harus menjauhkan sedikit ponselku dari telingaku.
“Vero….napa Ver? Kenapa
teriak sekencang itu?” tanyaku dungu.
“Kei…calon suamiku
pergi….dia mengirim surat padaku mengabarkan pernikahan kita batal dan dia kini
pergi entah kemana Kei….” Kudengar dia berbicara setengah histeris. Lalu
terdengar isaknya sedikit nyaring.
“Ya Tuhan Kei, apa yang
harus aku lakukan? Besok kita akan menikah dan pengantin laki-lakinya ga ada….”
Ujarnya lebih lanjut.
Ya Tuhan ternyata dia
bukan satu-satunya wanita yang hanya dipamiti lewat surat oleh Ernest. Bahkan
kepada Vero dia hanya mengucap ingin pergi juga lewat surat. Aku sedikit geram
pada Ernest, pada sikap pengecutnya, tapi aku pun tak bisa menyalahkan dia
sepenuhnya, mungkin dia tak tahu lagi harus melakukan apa.
Aku hanya terdiam tak
mampu mengatakan apa-apa pada Vero, karena pikiranku saat ini juga sedang
kosong, tak tau harus memikirkan apa. Kelelahanku memikirkan Ernest yang akan
menikah beberapa hari ini bahkan hari ini saat aku menerima suratnya yang
mengabarkan kepergiannya. Semua terasa begitu cepat bagiku.
“Kei…kamu masih disitu?
Kei aku harus bagaimana?” tanyanya dengan suara sendu.
Aku bisa merasakan
kepedihan dia saat ini, bukan hanya harga dirinya yang terbanting hingga dasar
karena kejadian ini, tapi bagaimana pula dia menghadapi semuanya ini sendiri
dengan hati yang terluka dan harga diri yang hancur, itu terasa lebih berat.
“Aku kesana Ver….” Hanya
itu yang terucap dari bibirku saat ini. Aku tak sanggup lagi untuk berkata apa-apa.
***
Vero menangis tersedu
memelukku, kadang tangisannya histeris, kadang tersedu dan terisak kecil. Aku
hanya diam, tak tahu apa yang harus aku katakana. Kelu semua lidahku, aku hanya
membisu ikut mencoba merasakan kepedihannya.
“Apa salahku Kei sampe dia
gitu ke aku?” “Kalau dia ga mau merit sama aku, napa dia harus kasih harapan
seakan-akan dia mau sama aku, cinta sama aku. Aku ga ngerti Kei. Rasanya sakit
banget dia harus giniin aku.” Ucapnya sambil tersendat-sendat diiringi tangisan.
“Sabar Ver.”
“Apa coba ini…hanya bilang
maaf tak bisa menikahimu….gilaaa disaat-saat terakhir besok aku ama dia mau
nikah. Aku bisa gila Kei.” Ucapnya sedikit keras.
Aku melirik kertas
ditangan Vero kesekian kalinya, tadi sempat kubaca kertas itu, hanya singkat
kata-kata di kertas itu.
Maaf
Vero…aku sadar tak bisa menikahimu…Maaf…
Aku hanya terhenyak,
kata-kata itu singkat namun kalau aku yang menerimanya akupun bisa gila. Semua
harapan, impian yang sudah kurancang tiba-tiba hancur berkeping-keping. Walau
aku tahu ada sekeping hati lain diluar sana yang diam-diam berharap hal seperti
ini terjadi. Dan posisi itu sekarang aku alami. Akulah sekeping hati yang
mengharapkan hal ini terjadi. Ya Tuhan,
apa aku berdosa mengharapkan hal ini terjadi?
***