"Kei...kamu kesambet apa sih? Kayanya sejak pulang liburan, daya kerja kamu meningkat bangeet. Semua dikerjain serba cepat. Ga kenal waktu. Gilaa ya? ingat say badan ada batasnya. Jaga kesehatan." Vero ngoceh panjang lebar melihat kegilaanku kerja.
Sebenarnya apa yang aku cari dalam hidup ini? Apa yang aku kejar?
Aku merenung dalam sepi. Mengingat 1 nama lelaki yang seakan jauh dari jangkauan aku. Entah perasaan gila seperti apa yang aku punya buat dia. Seolah dirinya sudah ada sejak lama di dalam hidup aku. Aku merasa hanya dia yang aku inginkan didalam hidup ini. Entah mengapa. Saat bertemu dia, satu-satunya lelaki yang aku ingin hanya dia. Aku ingin melewati setiap musim dalam hidupku bersamanya. Menghabiskan hari-hariku, menangis dan tertawa hanya dengannya. Melihat dia pertama kali aku membuka hariku dan melihatnya ketika aku menutup hariku. Menghabiskan hari-hariku dengan ada dipelukannya, mendengar suaranya, melihat senyumnya. Pemikiran yang gila sekaligus naïf. Aku memang tak begitu berpengalaman bersama lelaki. Boleh diakui aku memang cantik dan banyak lelaki yang mau bersamaku, tetapi aku tak pernah sungguh-sungguh menyerahkan hatiku pada satu orang sebelum bertemu dia.
I miss u too Nes...tp ga pernah aku tulis itu di bbmku. Aku hanya berbicara tanpa kata tentang rasa rinduku padanya.
***
Malam ini aku merasa terdampar sendiri dalam kehampaan yang dalam dikamarku yang berukuran 3x4meter. Kuhabiskan waktuku berkutat dengan tanya-tanya panjang yang tak pernah berakhir. Dan sampai pada suatu ketika...Aku merintih tanpa kata, mendesah dalam sunyi, menggambarkan diriku seperti seorang pesakitan dan merasa sendiri.
2 undangan ada dihadapanku dengan nama yang sama. Menggulir luka panjang dan jawaban yang getir atas 1 tanyaku tapi tak berujung harap. Kedua undangan itu berwarna merah, semerah luka hatiku yg menganga. Aku menatap nanar nama-nama yang tertulis disana. Tadi sore undangan itu datang bersamaan. Entah pak pos sengaja mengantarnya sekalian, entah kebetulan. Karena ditujukan pada orang dan alamat yang sama hanya berbeda pengirim saja. 1 undangan dari Vero, 1 undangan dari dia....ya Tuhan, dari laki-laki yang kucinta diam-diam, dalam damai tapi sekarang begitu memporak-porandakan kehidupanku yang bosan. Ternyata dia laki-laki yang selama ini sahabatku ceritakan yang akan menikah dengannya
Laki-laki yang aku nanti, aku damba, aku harapkan suatu saat menuliskan namaku diundangan itu sebagai mempelainya. Kini namanya terukir disana bersama nama wanita lain, wanita yang tak lain adalah sahabatku
Aku menangis dalam hati, nyeri rasanya. Kuusap nama yang tertulis disana.
'Alfredo Ernest Widodo'
Dan
'Princessa Vero Aditya'
Rohku seakan meluruh...serasa ingin melepas sisa separuh nyawaku yg td sudah pergi separuhnya saat aku terima undangan itu dan membacanya untuk pertama kalinya
Aku sudah kalah tanpa bertanding, karena tak tau juga dimana arena dan lawanku
***
Kumemikirkan 5 hari lagi dia menikah. Sedang aku disini masih merindukannya, mendambanya, mengharapnya. Telah habis airmataku menangisinya. Hingga tak tau lagi harus berbuat apa. Hatiku sakit...aku menahan denyut-denyut perihnya luka hatiku.
Kugigit bibirku agar airmata ini tak berurai lagi...tapi tak sanggup...airmataku menetes satu-satu...mengalir di pipiku menetesi bajuku...hingga jatuh ke tanah. Aku mengusapnya cepat dengan telapak tanganku. Rasanya terlalu cengeng aku, tapi semua itu tak mampu aku tahan. Hampir gila rasanya melihat keadaan diriku yang seperti ini. Kenapa aku serapuh ini. Seorang Kezia….gadis yatim piatu tegar yang sudah biasa menghadapi kehilangan kenapa tak bisa bertahan akan 1 kehilangan lagi. Nyatanya aku tak sanggup.
Sebuah surat tanpa nama pengirim ada diatas meja bufet ruang tamu kost. Tadi ibu kost memberitahuku ada surat untukku. Aku menatap surat itu, dari siapa ya? Karena jarang sekali ada yang mengirimi aku surat kertas seperti ini. Karena kemajuan jaman sekarang semua lebih praktis dengan mengirim e-mail saja, menelpon atau ber-bbm.
Aku melihat amplop putih itu, membuka dan menemukan beberapa lembar surat didalamnya.
Dear Kezia,
Saat kamu terima surat ini, mungkin saat itu aku udah ada jauh ribuan km dari kamu. Aku pergi...bukan, tapi sesungguhnya aku sedang melarikan diri dari smuanya.
Hanya saat denganmu aku merasa asli. Hanya kamu yang bisa membuat aku memperlihatkan keaslianku. Aku asli tertawa, tersenyum, merasa sakit, merasa cinta, merasa rindu.
Hanya saat bersamamu hidupku tak palsu
Tapi aku tak bisa bersamamu Kei...aku terluka, bahkan sebelum aku sempat terjatuh.
Hatiku perih sebelum aku menyadari ada luka disana. Entah sejak kapan aku merasakan seperti ini. Bahagia saat melihatmu, bertemu kamu, mendengar suaramu. Sakit saat berpisah denganmu, tidak melihatmu, mengabaikanmu. Berulang kali aku coba memupus rasa ini, tapi..aku tak sanggup.
“Ernest”
"Ya mumpung semangat Ver." Kataku ngeles.
"Semangat apanya. Itu mah kebablasan Kei...kamu udah lembur hampir tiap hari sejak kamu pulang. Apa yang terjadi waktu kamu liburan? Bener-bener refreshing atau malah ada yang bikin kamu tambah kacau?" Tanya Vero membabi buta...Dia marah karena aku emank terlalu berlebihan dalam bekerja.
"Stop it Kei...slow down. Kita udah ga punya waktu lagi hang out. Bahkan sekedar ngobrol santai saat makan siang aja ga bisa. Apa seh yang ada dipikiran kamu? Cerita donk kei klo ada sesuatu." Cerocos Vero masih sedikit emosi. Aku sadari itu mungkin karena rasa kuatirnya hingga dia seperti itu.
"Ga ada apa-apa Ver, swear deh,” kataku sambil menyilangkan jari telunjukku dan jari tengahku. “Cuma mau giat kerja, mau kejer naik pangkat." Ujarku sambil tertawa garing, mencoba bercanda.
Tapi Vero hanya menatapku diam, tak ada tawa diwajahnya. Yang kulihat kekuatiran sangat. Dia menatapku serius. Tak ingin bercanda.
"Oke Vero sayang, mulai sekarang aku ga akan terlalu ngoyo kerja kog, yaa. Swear.” Kataku berjanji kedua kalinya.
“Tapi benernya aku juga ga tau klo ga kerja buat apa waktu aku? Pacar ga punya. Ortu udah ga ada. Apalagi yang bisa aku lakuin klo bukan kerja?" tanyaku seolah pada diri sendiri. Aku merasa hanya dengan kerja hidup aku berarti. Terlalu pesimis ya kesannya, tapi mungkin itu yang aku rasakan kini.
"Tapi not so crazy like you do lately dear. Kan masih ada aku? Your friend...best-best friend. Kan kamu bisa share your time ma aku." Vero tersenyum sekarang, ga setegang tadi.
"Iya Vero sayang. I must slow down yaa kynyaa...kelewat semangat." Kataku tertawa kecil.
Sesungguhnya tak ada yang tau perasaanku. Aku menutup semuanya rapat hanya untuk diriku. Entah mengapa aku ga bisa membaginya pada siapapun. Kalau sesungguhnya ada yang ingin aku lupakan. Ada yang ingin aku singkirkan dari hati dan pikiranku. Dia...seseorang yang mungkin tak segila ini memikirkan aku seperti aku memikirkannya.
***
Aku memandang langit-langit kamarku.
Sebenarnya apa yang aku cari dalam hidup ini? Apa yang aku kejar?
Aku merenung dalam sepi. Mengingat 1 nama lelaki yang seakan jauh dari jangkauan aku. Entah perasaan gila seperti apa yang aku punya buat dia. Seolah dirinya sudah ada sejak lama di dalam hidup aku. Aku merasa hanya dia yang aku inginkan didalam hidup ini. Entah mengapa. Saat bertemu dia, satu-satunya lelaki yang aku ingin hanya dia. Aku ingin melewati setiap musim dalam hidupku bersamanya. Menghabiskan hari-hariku, menangis dan tertawa hanya dengannya. Melihat dia pertama kali aku membuka hariku dan melihatnya ketika aku menutup hariku. Menghabiskan hari-hariku dengan ada dipelukannya, mendengar suaranya, melihat senyumnya. Pemikiran yang gila sekaligus naïf. Aku memang tak begitu berpengalaman bersama lelaki. Boleh diakui aku memang cantik dan banyak lelaki yang mau bersamaku, tetapi aku tak pernah sungguh-sungguh menyerahkan hatiku pada satu orang sebelum bertemu dia.
Aku merenung, sebenarnya apa yang aku kejar dalam hidup ini. Aku tak ada lagi orangtua yang mengharap aku bisa memberi sesuatu kepada mereka. Kalau kuabdikan hidupku untuk kerja hanya karena itu kebutuhan aku akan hidup saat ini, memenuhi keperluanku yang sebenarnya tak terlampau banyak. Aku pikir aku hanyalah gadis sederhana, tak suka berhura-hura. Lebih banyak waktuku untuk membaca, berkutat dengan kerjaan ku dan sesekali bepergian untuk refreshing. Dan kalau kuingat 2 kali kenanganku bepergian isinya adalah lelaki itu. Pertemuan yang tak pernah kami sengaja, tak pernah terencana namun berbuntut kesan yang teramat manis dan indah untuk dikenang. Hanya mengingatnya saja membuatku tersenyum seperti orang gila. Apa mungkin dia memikirkan seperti aku memikirkan dia.
Hidup ini kadang punya cerita yang aneh….namun nyata. Aku yang terbilang gadis cantik, pintar, supel bisa saja mendapatkan lelaki manapun dengan hanya menunjuk lewat jariku namun anehnya tak satupun lelaki yang aku tatap mampu menggetarkan seluruh pertahanan hatiku. Yang mampu mengoyak sisi cintaku dengan begitu tegas. Hanya lelaki itu, yang mungkin hanya memandangku sebagai seorang teman yang asik untuk diajak berdiskusi, debat dan bercanda. Hanya itu…tapi dialah satu-satunya yang aku mau.
Aku mendesah sekali lagi…bolehkah sekali saja aku bertanya padanya? Bolehkah aku sekali saja punya keberanian penuh dan datang kepadanya menawarkan cintaku?
Aku tersenyum masam…mungkin iya ya…dengan itu aku jadi tau bagaimana perasaan dia, tanpa terus merindu dan mencinta dia dengan cara seperti ini. Tanpa kepastian dan bertepuk sebelah tangan. Tidak seperti sekarang mereka-reka sendiri perasaannya entah dia punya perasaan yang sama dengan aku atau tidak.
***
Bipp bipp bb ku berbunyi
'Kei...I miss U...hope kamu ada disini dear. Wanna hold u'
Deg..jantungku hampir berhenti menerima bbm Ernest.
Setelah hampir 1 bulan lalu terakhir bertemu di Bali. Baru sekarang dia bbm aku dengan nada semesra itu.
Hatiku berdesir halus. Hanya membayangkan dia merindukanku. Mengharapkanku ada bersamanya membuat aku perih. Dia merindukan aku sebagai apa? Mengharapkan ada bersamanya sebagai apa?
'Hai nes...kenapa?'
'I'm so tired Kei...wanna go so far away'
'Mau kemana? Ajak aku deh Nes'
'Come here'
'Hehe...emank jarak NY-jakarta kaya jalan kaki 2 rumah apa?'
'Hehe iya yaa...kapan Kei bisa ketemu kamu lagi...miss u so much, ga puas cuma video call mulu'
I miss u too Nes...tp ga pernah aku tulis itu di bbmku. Aku hanya berbicara tanpa kata tentang rasa rinduku padanya.
Mungkin suatu hari aku akan kumpulkan keberanianku dan bertanya padanya apa arti semua kata-katanya selama ini kepadaku. Apa arti rindunya, perasaan ingin bersama yang dia punya buat aku. Entah kapan itu, tapi yang pasti aku harus menanyakannya dan semoga itu belum terlambat.
***
Vero akan menikah dalam waktu 3 bulan lagi. Akhirnya dia mau menikah dengan laki-laki yang dijodohkannya padanya. Setelah menjalani pendekatan dan saling mengenal selama 1 tahun. Akhirnya kedua orangtua mereka sepakat meminta dia menikah dengan laki-laki itu. Tinggal 2 bulan lagi dia menyelesaikan pekerjaannya di kantor ini. Setelah itu dia akan berhenti karena akan ikut suaminya karena dia bilang suaminya sering pergi keluar negeri atau kekota-kota lain untuk mengurus bisnisnya. Dia berpikir selama dia belum memiliki anak mungkin mereka akan sering bepergian dulu bersama sementara waktu sebelum menetapkan akan tinggal dan menetap dimana.
Aku makin nelangsa. Karena sudah ga ada siapa-siapa lagi yang bisa berbagi denganku. Vero beberapa kali menawarkan kandidat calon suami yang katanya tepat untukku. Tapi aku tak mau menanggapi itu Sebenarnya hatiku bukan tak mau tapi tak bisa. Aku lebih suka menunggu dalam ketidakpastian. Mungkin aku bodoh, aku naïf, mengharap Ernest menyadari rasa cintaku. Padahal berapa lama waktu yang aku perlukan aku sendiripun tak tau.
"Kei aku bingung deh ma kamu, semua cowo kayanya ga masuk dalam selera kamu. Emank ada yang kamu tunggu?"
"Ya blom ketemu yang pas aja Ver. Lagian urusan menikah kan ga bisa ditentukan dengan cepat juga. That's a lifetime beib. Ga mau salah pilih." Ujarku terkesan ngeles.
Aku tercenung memikirkan kata-kataku sendiri. Apa aku sendiri tak salah pilih? Selama ini mengharapkan Ernest? Yang tak tau apa dia juga mengharap hal yang sama. Berat rasanya merasakan smua itu. Andai aku bertemu dengan orang lain yang melebihinya. Yang bisa memboyong kembali hatiku yang sudah terenggut lelaki itu. Sama beratnya kalau harus melepas dia dengan melepas hidupku.
***
Hampanya hari tanpa harap. Aku tenggelam sendiri dalam hiruk pikuk kota ini yang tak mengenal waktu dan ruang. Orang-orang hidup bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain.
Malam ini aku merasa terdampar sendiri dalam kehampaan yang dalam dikamarku yang berukuran 3x4meter. Kuhabiskan waktuku berkutat dengan tanya-tanya panjang yang tak pernah berakhir. Dan sampai pada suatu ketika...Aku merintih tanpa kata, mendesah dalam sunyi, menggambarkan diriku seperti seorang pesakitan dan merasa sendiri.
2 undangan ada dihadapanku dengan nama yang sama. Menggulir luka panjang dan jawaban yang getir atas 1 tanyaku tapi tak berujung harap. Kedua undangan itu berwarna merah, semerah luka hatiku yg menganga. Aku menatap nanar nama-nama yang tertulis disana. Tadi sore undangan itu datang bersamaan. Entah pak pos sengaja mengantarnya sekalian, entah kebetulan. Karena ditujukan pada orang dan alamat yang sama hanya berbeda pengirim saja. 1 undangan dari Vero, 1 undangan dari dia....ya Tuhan, dari laki-laki yang kucinta diam-diam, dalam damai tapi sekarang begitu memporak-porandakan kehidupanku yang bosan. Ternyata dia laki-laki yang selama ini sahabatku ceritakan yang akan menikah dengannya
Laki-laki yang aku nanti, aku damba, aku harapkan suatu saat menuliskan namaku diundangan itu sebagai mempelainya. Kini namanya terukir disana bersama nama wanita lain, wanita yang tak lain adalah sahabatku
Aku menangis dalam hati, nyeri rasanya. Kuusap nama yang tertulis disana.
'Alfredo Ernest Widodo'
Dan
'Princessa Vero Aditya'
Aku merintih pelan. Tuhan kuatkan aku. Apa salahku hingga smua jadi begini. Aku harus bersaing dengan sahabatku sendiri….ooohh no tidak sebenarnya tak ada persaingan. Namun entah mengapa aku merasa kalah, merasa begitu cemburu, merasa ingin memiliki apa yang Vero miliki. Aku tak pernah merasa seiri saat ini kepada Vero. Dia sudah memiliki segalanya, papa, mama, adik, kekayaan, kecantikan, kebaikan, bahkan laki-laki yang akhirnya aku tau aku cintai tapi mencintai sahabatku. Aku tak tau harus berbuat apa, tak tau lagi harus mengatakan apa. Jiwaku beku, tubuhku beku, seakan waktukupun beku saat aku kembali menatap undangan itu.
Rohku seakan meluruh...serasa ingin melepas sisa separuh nyawaku yg td sudah pergi separuhnya saat aku terima undangan itu dan membacanya untuk pertama kalinya
Aku sudah kalah tanpa bertanding, karena tak tau juga dimana arena dan lawanku
***
Aku menyusuri panasnya kota ini sendiri. Tak ada lagi teman atau sahabat yang menemani aku. Aku masuk kedalam mobilku dan menyalakan mesinnya. Menjalankan mobilku kemana saja pikiranku membawaku. Sampai di pantai kuparkir mobilku, aku keluar menuju kearah pantai. Angin bertiup kencang, andai angin bisa menerbangkan lukaku...andai angin bisa menerbangkan kehampaanku. Aku duduk dibawah pohon, memandang kearah laut. Ombak menderu...sama seperti hatiku yang menderu.
Kumemikirkan 5 hari lagi dia menikah. Sedang aku disini masih merindukannya, mendambanya, mengharapnya. Telah habis airmataku menangisinya. Hingga tak tau lagi harus berbuat apa. Hatiku sakit...aku menahan denyut-denyut perihnya luka hatiku.
Kugigit bibirku agar airmata ini tak berurai lagi...tapi tak sanggup...airmataku menetes satu-satu...mengalir di pipiku menetesi bajuku...hingga jatuh ke tanah. Aku mengusapnya cepat dengan telapak tanganku. Rasanya terlalu cengeng aku, tapi semua itu tak mampu aku tahan. Hampir gila rasanya melihat keadaan diriku yang seperti ini. Kenapa aku serapuh ini. Seorang Kezia….gadis yatim piatu tegar yang sudah biasa menghadapi kehilangan kenapa tak bisa bertahan akan 1 kehilangan lagi. Nyatanya aku tak sanggup.
Bagaimana aku hadapi Vero saat pernikahan dia nanti bersama laki-laki itu.
Kenapa aku bisa begini? Menangisi laki-laki yang bahkan tak tau aku menangisinya saat ini. Menangisi laki-laki yang bahkan tak tau apa alasan aku menangisinya. Aku merasa lelah, seluruh jiwa dan pikiranku. Seakan aku ada ditepian jurang berusaha keras naik keatas. Tapi tak berdaya...mulai kehabisan tenaga...mulai lemah...aku menggelantung...adakah lagi yang bisa kuharapkan kini?
***
Sebuah surat tanpa nama pengirim ada diatas meja bufet ruang tamu kost. Tadi ibu kost memberitahuku ada surat untukku. Aku menatap surat itu, dari siapa ya? Karena jarang sekali ada yang mengirimi aku surat kertas seperti ini. Karena kemajuan jaman sekarang semua lebih praktis dengan mengirim e-mail saja, menelpon atau ber-bbm.
Aku melihat amplop putih itu, membuka dan menemukan beberapa lembar surat didalamnya.
Dear Kezia,
Saat kamu terima surat ini, mungkin saat itu aku udah ada jauh ribuan km dari kamu. Aku pergi...bukan, tapi sesungguhnya aku sedang melarikan diri dari smuanya.
Aku lelah kei, tak sanggup lagi hidup berpura-pura. Berpura-pura bahagia, berpura-pura mencintai, berpura-pura dicintai.
Hidupku palsu.
Hidupku palsu.
Hanya saat denganmu aku merasa asli. Hanya kamu yang bisa membuat aku memperlihatkan keaslianku. Aku asli tertawa, tersenyum, merasa sakit, merasa cinta, merasa rindu.
Hanya saat bersamamu hidupku tak palsu
Tapi aku tak bisa bersamamu Kei...aku terluka, bahkan sebelum aku sempat terjatuh.
Hatiku perih sebelum aku menyadari ada luka disana. Entah sejak kapan aku merasakan seperti ini. Bahagia saat melihatmu, bertemu kamu, mendengar suaramu. Sakit saat berpisah denganmu, tidak melihatmu, mengabaikanmu. Berulang kali aku coba memupus rasa ini, tapi..aku tak sanggup.
Selama ini aku hanya hidup menyenangkan papaku tapi aku sungguh tak sanggup. Tak sanggup hidup seperti ini. Tak sanggup kalau harus tanpa kamu dalam duniaku.
Aku tak tahu harus berbuat apa, terlalu pengecut bagiku mengucap satu kata itu bagimu. Cinta. Karena aku takut bahkan tak mampu menawarkan lebih dulu keadaan aku yang sesungguhnya tanpa embel-embel nama besar Widodo dibelakang namaku.
Aku hanya Ernest, laki-laki biasa yang tak punya apa-apa, aku tak berani menawarkan duniaku yang hampa itu padamu. Karena aku tau begitu banyak laki-laki lain yang bisa menawarkan kehidupan penuh bunga dan pelangi dihadapanmu, tapi mungkin bukan aku.
Aku hanya laki-laki biasa, bahkan terlalu pengecut untuk pergi dan sengsara, dan menerima apa yang disodorkan dihadapanku.
Tapi aku lelah…sangat lelah, aku seakan tertawa tapi menangis, mencintai padahal membenci.
Entah Kei…aku tak tahu lagi arah diriku. Maaf ya menodai kebersamaan kita sebagai sahabat. Karena aku tahu kamu hanya menganggap aku sahabatmu, tapi…aku sudah berlebihan mengharap kamu.
Aku pergi, mungkin kita tidak akan bertemu lagi, tapi bila jalinan persahabatan ini memang panjang entah kapan dan dimana kita bisa bertemu lagi.
continue....